Sejarah Suku Talang Mamak.
Suku Talang Mamak tergolong Melayu Tua (Proto Melayu) merupakan suku 
asli Indragiri, mereka juga menyebut dirinya “Suku Tuha”. Kedua sebutan 
tersebut bermakna suku pertama datang dan lebih berhak terhadap sumber 
daya di Indragiri Hulu. Ada beberapa versi asal suku Talang Mamak. 
Menurut Obdeyn-Asisten Residen Indragiri, Suku Talang Mamak berasal dari
 Pagaruyung yang terdesak akibat konflik adat dan agama. Sedangkan 
berdasarkan mitos bahwa Talang Mamak merupakan keturunan Adam ketiga 
berasal dari kayangan turun ke bumi, tepatnya di Sungai Limau dan 
menetap di Sungai Tunu (Durian Cacar, tempat Pati). Hal ini terlihat 
dari ungkapan “Kandal Tanah Makkah, Merapung di Sungai Limau, menjeram 
di Sungai Tunu”. Itulah manusia pertama di Indragiri nan bernama Patih.
Penyebaran
Suku Talang Mamak tersebar di empat kecamatan yaitu : Kecamatan 
Batang Gangsal, Cenaku, Kelayang dan Rengat Barat Kabupaten Indragiri 
Hulu Riau. Dan satu kelompok berada di Dusun Semarantihan desa Suo-suo 
Kecamatan Sumai Kabupaten Tebo Jambi. Pada tahun 2000 populasi Talang 
Mamak diperkirakan ±1341 keluarga atau ±6418 jiwa.
Budaya
Budaya
Kepercayaan Talang Mamak masih animisme dan sebagian kecil Katolik 
sinkritis khusunya penduduk Siambul dan Talang Lakat. Mereka menyebut 
dirinya sendiri sebagai orang “Langkah Lama”, yang artinya orang adat. 
Mereka membedakan diri dengan Suku Melayu berdasarkan agama. Jika 
seorang Talang Mamak telah memeluk Islam, identitasnya berubah jadi 
Melayu.
Orang Talang Mamak menunjukkan identitas secara jelas sebagai orang 
adat langkah lama. Mereka masih mewarisi tradisi leluhur seperti ada 
yang berambut panjang, pakai sorban/songkok dan gigi bergarang (hitam 
karena menginang). Dalam selingkaran hidup (life cycle) mereka masih 
melakukan upacara-upacara adat mulai dari melahirkan bantuan dukun bayi,
 timbang bayi, sunat, upacara perkawinan (gawai), berobat dan berdukun, 
beranggul (tradisi menghibur orang yang kemalangan) dan upacara batambak
 (menghormati roh yang meninggal dan memperbaiki kuburannya untuk 
peningkatan status sosial).
Kebanggaan terhadap kesukuan tersebut tidak lepas dari sejarah 
kepemimpinan Talang Mamak dan Melayu di sekitar Sungai Kuantan, Cenaku 
dan Gangsal. Kepemimpinan Talang Mamak tercermin dari pepatah “Sembilan 
Batang Gangsal, Sepuluh Jan Denalah, Denalah Pasak Melintang; Sembilan 
Batin Cenaku, Sepuluh Jan Anak Talang, Anak Talang Tagas Binting Aduan; 
beserta ranting cawang, berinduk ke tiga balai, beribu ke Pagaruyung, 
berbapa ke Indragiri, beraja ke Sultan Rengat”. Ini menunjukkan bahwa 
Talang Mamak mempunyai peranan yang penting dalam struktur Kerajaan 
Indragiri yang secara politis juga ingin mendapatkan legitimasi dan 
dukungan dari Kerajaan Pagaruyung.
Hingga sekarang sebagian besar kelompok Talang Mamak masih melakukan 
tradisi “mengilir/menyembah raja/datok di Rengat pada bulan Haji dan 
hari raya” sebuah tradisi yang berkaitan dengan warisan sistem Kerajaan 
Indragiri. Bagi kelompok ini ada anggapan jika tradisi tersebut 
dilanggar akan dimakan sumpah yaitu “ke atas ndak bepucuk, ke bawah ndak
 beurat, di tengah dilarik kumbang” yang artinya tidak berguna dan 
sia-sia.
Mereka memiliki berbagai kesenian yang dipertunjukkan pada 
pesta/gawai dan dilakukan pada saat upacara seperti pencak silat yang 
diiringi dengan gendang, main gambus, tari balai terbang, tari bulian 
dan main ketebung. Berbagai penyakit dapat disembuhkan dengan 
upacara-upacara tradisional yang selalu dihubungkan dengan alam gaib 
dengan bantuan dukun.
Prinsip memegang adat sangat kuat bagi mereka dan cenderung menolak 
budaya lauar, tercermin dari pepatah “biar mati anak asal jangan mati 
adat”. Kekukuhan memegang adat masih kuat bagi kelompok Tigabalai dan di
 dalam taman nasional, kecuali di lintas timur karena sudah banyaknya 
pengaruh dari luar.
Dengan berlakunya UU Pemerintah Desa No. 5 tahun 1979, mengakibatkan 
berubahnya struktur pemerintahan desa yang sentralistik dan kurang 
mengakui kepemimpinan informal. Akhirnya kepemimpinan Talang Mamak 
terpecah-pecah, untuk posisi patih diduduki 3 orang yang mempunyai 
pendukung yang fanatis, demikian juga konflik terhadap perebutan sumber 
daya. Walaupun otonomi daerah berjalan, konflik kepemimpinan Talang 
Mamak sulit diresolusi, mereka saat ini saling curiga.
Pendidikan
Sebagian besar penduduk Talang Mamak buta huruf yang disebabkan oleh 
berbagai faktor dan kendala. Di dalam taman nasional, wilayahnya tidak 
terjangkau, sarana prasarana tidak memungkinkan. Di luar taman seperti 
di Lintas Timur, sekolah baru ada akhir-akhir ini dan kurang diminati 
sebab pendidikan dirasa tidak dapat memecahkan masalah mereka di samping
 ekonomi yang subsistem. Di wilayah Tigabalai sebagian besar menolak 
pendidikan, karena anak-anak mereka yang bersekolah dan mengecap 
pendidikan akhirnya keluar dari kelompoknya.
Lingkungan dan Ekonomi
Tanah dan hutan bagi Suku Talang Mamak merupakan bagian dari 
kehidupan yang tidak dapat dipisahkan. Sejak beratus-ratus tahun mereka 
hidup damai dan menyatu dengan alam. Mereka hidup dari mengumpulkan 
hasil hutan dan melakukan perladangan berpindah. Dari dulu mereka 
berperan dalam penyediaan permintaan pasar dunia. Sejak awal abad ke-19 
pencarian hasil hutan meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan 
dunia terhadap hasil hutan seperti jernang, jelutung, balam merah/putih,
 gaharu, rotan. Tetapi abad ke-20 hasil hutan di pasaran lesu atau tidak
 menentu, namun ada alternatif ekonomi lain yaitu mengadaptasikan 
perladangan berpindah dengan penanaman karet. Penanaman karet tentunya 
menjadikan mereka lebih menetap dan sekaligus sebagai alat untuk 
mempertahankan lahan dan hutannya.
Mereka mulai terusik dan diporakporandakan oleh kehadiran HPH, 
penempatan transmigrasi, pembabatan hutan oleh perusahaan dan sisanya 
dikuasai oleh migran. Kini sebagian besar hutan alam mereka tinggal 
hamparan kelapa sawit yang merupakan milik pihak lain. Penyempitan 
lingkungan Talang Mamak berdampak pada sulitnya melakukan sistem 
perladangan beringsut dengan baik dan benar dan harus beradaptasi, bagi 
yang tidak mampu beradaptasi kehidupannya akan terancam. Oleh sebab itu,
 sekelompok suku Talang Mamak yang di Tigabalai di bawah kepemimpinan 
Patih Laman gigih mempertahankan hutannya.
Demi memperjuangkan hutan adat, ia menentang dan menolak segala 
pembangunan dan perusahaan serta rela mati mempertahankan hutan. 
Kegigihan dan perjuangan “orang tua si buta huruf ini” diusulkan menjadi
 nominasi dan memenangkan penghargaan International “WWF International 
Award for Conservation Merit 1999″ dari tingkat grass root. Beliau juga 
mengharumkan nama Riau dan Indonesia di bidang konservasi yang 
diterimanya di Kinabalu Malaysia bersama dua pemenang lainnya dari 
Malaysia dan India. Pada tahun 2003, Patih Laman mendapatkan penghargaan
 KALPATARU dari Presiden Republik Indonesia.
Masyarakat Talang Mamak Dalam Taman Nasional
Masyarakat Talang Mamak Dalam Taman Nasional
Suku Talang Mamak yang ada di dalam taman nasional secara tradisional
 masuk dalam kepemimpinan Sembilan Batang Gangsal Sepuluh Jan Denalah, 
Denalah Pasak Melintang. Sekitar seratus tahun yang lalu penduduk di 
wilayah ini masih Talang Mamak, namun dengan masuknya Islam, ada tiga 
dusun yang penduduknya sudah Melayu, mengalih atau menjadi langkah baru.
Pada tahun 1999 jumlah penduduk di dalam TNBT sebanyak 181 keluarga 
atau 844 orang. Di mana Talang Mamak berjumlah 97 keluarga atau 523 
orang. Sedangkan Suku Melayu sebanyak 64 keluarga atau 321 orang.
Masyarakat Talang Mamak dan Melayu tradisional tersebut berada di 
dalam TNBT sepanjang Sungai Gangsal. Ada 8 dusun yang mereka tempati, di
 wilayah Riau 7 dusun yaitu Tanah Datar, Dusun Tua, Suit, Sadan, Air 
Bomban, Nunusan dan Siamang Desa Rantau Langsat. Sedangkan satu dusun 
lagi di wilayah Jambi yaitu Semerantihan desa Suo-suo. Kelompok yang 
memecah dari Dusun Tua karena konflik dan ketersediaan sumber daya.
Ada 3 dusun dihuni Suku Melayu yaitu Dusun Sadan, Air Bomban dan Nunusan selebihnya dihuni Suku Talang Mamak.
Pertambahan penduduk di dalam TNBT stagnan karena antara natalitas 
dan fertilitas umumnya seimbang. Sistem kesehatan masih tradisional, 
penyembuhan penyakit masih secara tradisional dengan menggunakan 
dedaunan, akar-akaran,pohon-pohon dan buah pohon dan selalu 
menghubungkannya dengan sistem kosmologi.
Secara budaya Masyarakat Talang Mamak di dalam TNBT sedikit berbeda 
dengan di Tigabalai-Pusat Kebudayaan Talang Mamak, mereka tidak 
melakukan tradisi mengilir dan menyembah raja, sistem kebatinan juga 
mulai luntur, umumnya mereka otonom menjalankan aktivitas dan 
menyelesaikan persoalan berat secara formal melalui kepala desa. Namun 
umumnya mereka masih animis dan sebagian kecil sudah menjadi katolik 
sinkritis yang berada di Dusun Siamang.
Mereka mengenal banyak tentang obat-obatan tradisional. Menurut 
ekspedisi Biota Medika (1998) bahwa Suku Talang Mamak memanfaatkan 110 
jenis tumbuhan untuk mengobati 56 jenis penyakit dan 22 jenis cendawan 
obat. Sedangkan Suku Melayu memanfaatkan 182 jenis tumbuhan obat untuk 
45 jenis penyakit dan 8 jenis cendawan. Selain itu Masyarakat Talang 
Mamak juga memiliki pengetahuan etnobotani. Mengenal berbagai jenis 
tumbuhan dan juga satwa.
Mata pencarian utama mereka adalah berladang berpindah dengan 
integrasi penanaman karet, di sela-sela berladang mereka mencari hasil 
hutan seperti jernang, rotan, labi-labi. Untuk memenuhi kebutuhan 
protein mereka berburu ke hutan.
Interaksi
Suku Talang Mamak di dalam TNBT sangat sopan, menghargai orang luar 
yang datang kepada mereka. Pada umumnya mereka jujur dan tidak mau 
mengganggu orang lain, daripada konflik lebih baik menghindar dan pergi 
ke hutan merupakan sifat dasar mereka. Jangan sekali-kali menggurui 
karena mereka adalah guru yang paling baik dalam hal etnobotani, 
etnozoologi, budaya dan sistem pertanian.
Banyaklah belajar dari mereka
Banyaklah belajar dari mereka
Dalam pemberian bantuan jangan ada kesan simbolik meremehkan martabat
 dan jati diri mereka, misalnya memberi bantuan baju bekas, ini bermakna
 martabat dan status sosial mereka lebih rendah dari kita dan kain 
bekaslah yang pantas buat mereka. Berikan sesuatu yang bermakna bagi 
hidup mereka dan lingkungan seperti biji buah-buahan, mungkin buku dan 
pensil atau apa yang mereka inginkan. Bila ingin mendokumentasikan 
sesuatu sebaiknya harus permisi karena ada hal-hal sakral.
Sumber: http://www.bukit30.org/ 
-min.png) 

 
-min.png)