De Javu anisa aprilla
By: Anisa Aprilia Adha
Kelas: XI IPA 4
Folow my twitter : @cichAprili
"Kesimpulannya adalah, sel merupakan unit terkecil dan terpenting bagi makhluk hidup. Bila tidak ada sel, maka tidak aka nada makhluk hidup di bumi ini, karena makluk hidup merupakan kumpulan dari sistem organ, sistem organ kumpulan dari organ, organ merupakan kumpulan dari jaringan, dan jaringan merupakan kumpulan dari sel." Tepuk tangan menyertai akhir dari presentase Biologi dari kelompok Mia. Dan jelas, Mia adalah perwakilan dari kelompoknya untuk mejadi jubir dari presentase hari ini. Satu demi sartu pertanyaan dijawabnya dengan lancar. Dan pada akhir diskusi hari ini, Bu Anum memberikan aplus khusus dan nilai plus lebih untuk Mia karena kesuksesannya memimpin kelompoknya.
Hari ini benar-benar sempurna untuk Mia, kecuali satu hal. Ia lupa membawa buku PR Fisikanya. Kecemasan mulai menghatui pikirannya. Pak Situmorang tidak akan membiarkan seorang murid pun tidak mengerjakan PR-nya. Ya, walaupun Mia mengerjakan PR itu namun ia hanya lupa membawa buku PR-nya, tetapi tetap saja. Itu alasan paling pasaran bagi anak-anak yang sering tidak mengerjakan PR. Dan pada akhirnya, keringat dinginnya mulai bercucuran saat bel pelajaran ke-4 dibunyikan
.
"Hari Ini Pak Situmorang gak datang wey! Kita nggak ditinggalin tugas lagi. PR dikumpul minggu depan." Teriakan Hari menggema di telinga murid-murid kelas XI IPA 1. Sang ketua kelas itu berbicara dengan lantang dan penuh bahagia. Siapa coba yang tidak akan bahagia, mendengar kabar bahwa guru Fisika yang killernya minta ampun itu tidak dapat menghadiri kelas hari ini. Selusin pikiran anak-anak XI IPA 1 mulai menggenangi angkasa. Ada yang pengen langsung capcus ke kantin, pengen BBM-an, Facebook-an, Twitter-an, gossip, dan tak jarang ada yang bingung mau berbuat apa. Seketika terdengar suara dari ujung kelas paling kiri, "Kenapa bapak itu ga datang, Ri?" Dan terdengar jelas bahwa itu adalah suara Robi. "Kata guru-guru sih kecelakaan. Parah sih katanya." Seketika kelas terdiam membisu. Pikiran baik dan buruk bergejolak di otak mereka. Tak jarang dari mereka yang berharap yang tidak-tidak. Dan juga tak sedikit yang merasa simpati pada Pak Situmorang. Hati naluri mereka masih bekerja dalam hal ini.
"Hari Ini Pak Situmorang gak datang wey! Kita nggak ditinggalin tugas lagi. PR dikumpul minggu depan." Teriakan Hari menggema di telinga murid-murid kelas XI IPA 1. Sang ketua kelas itu berbicara dengan lantang dan penuh bahagia. Siapa coba yang tidak akan bahagia, mendengar kabar bahwa guru Fisika yang killernya minta ampun itu tidak dapat menghadiri kelas hari ini. Selusin pikiran anak-anak XI IPA 1 mulai menggenangi angkasa. Ada yang pengen langsung capcus ke kantin, pengen BBM-an, Facebook-an, Twitter-an, gossip, dan tak jarang ada yang bingung mau berbuat apa. Seketika terdengar suara dari ujung kelas paling kiri, "Kenapa bapak itu ga datang, Ri?" Dan terdengar jelas bahwa itu adalah suara Robi. "Kata guru-guru sih kecelakaan. Parah sih katanya." Seketika kelas terdiam membisu. Pikiran baik dan buruk bergejolak di otak mereka. Tak jarang dari mereka yang berharap yang tidak-tidak. Dan juga tak sedikit yang merasa simpati pada Pak Situmorang. Hati naluri mereka masih bekerja dalam hal ini.
Murid satu per satu mulai keluar dari kelas. Sebagian dari mereka ada yang tetap memilih tinggal di kelas. Mengisi waktu kosong itu bagaikan hal yang sangat dimimpi-mimpikan oleh mereka. Senjata utama mereka pada saat ini adalah BB, Novel, Komik, bahkan uang. Ya, uang memang sangat dibutuhkan untuk mengisi perut. Mengingat hal itu, Mia yang perutnya lapar tak terkira karena keringatan tadi segera berlari ke koperasi sekolah. Diantara 2 kantin yang ada di sekolahnya, ia memilih koperasi yang nyatanya menyediakan makan yang higienis bagi murid-murid sekolah. "Buk, teh gelas 1 goreng bakwan dua, goring pisang 2, kacang 2. Rp 4000 kan buk?" "Iya. Nih kembaliannya." Tangan ibuk penjaga koperasi terjulur memberikan uang Rp 1000. "Udah siap Nit? Ku tunggu di pintu ya." "Belum Mi, iya. Bentar lagi aku keluar." Teriak Nita yang suaranya termakan oleh keramaian di koperasi. Mungkin, beberapa kelas yang lain juga memiliki jam kosong saat ini. Beberapa menit kemudian Nita keluar dari koperasi. Mia tersenyum melihatnya. "Waw, itu mau ganjal perut atau mau buat persediaan sampe mati?" Tanya Mia geli. "Lebay ah! Kayak gak ngerti aku aja." Muka Nita masam menjawab pertanyaan dari Mia. "Di bawah pohon ini aja, Nit?" Saran Mia dan tanpa sadar segera duduk. Sahabatnya mengikutinya dan seketika membuka jajanan yang menjajahi kantongnya tadi. Dengan sadis, satu per satu mereka melahap jajanan-jajanan kantin yang tak bersalah itu. Namun jajanan itu akan lebih hina lagi bila tidak laku dijual. "Dingin nih di sini." Sebut Nita menggosokkan tangannya bak sedang dance lagu Super Junior, Sorry Sorry. "Ah, biasa aja kok. Tadi sumpah lah, aku lupa bawa PR Fisika. Untung bapak tu gak datang. Alhamdulillah.. ☺" Mia terlihat senang sambil menyerup teh gelasnya. "Yang benar Mi? Waw, bersyukur banget tu. Tapi kasian juga ya bapak itu. Kecelakaan. Jadi, karena tai kita semua senang, jadinya, kita kejam banget dong. Bahagia di atas penderitaan orang lain. Bahkan, dia kan gimanapun juga guru kita. Lumayan lah ilmu-nya, ya walaupun Killernya itu mengerikan. Tapi kan tetap, dia ngelakuin itu supaya muri-muridnya pintar." Mereka berdua tertunduk mendengar ucapan Nita."Ladies! Yeye! Wake up! Ready!" "Ladies! Yeye! Sing along!"
"Lalalalalala……………………………………………………………………………"
#Bunyi alarm handphone Mia
Mia membuka matanya yang penuh belekan itu. "Wah, udah subuh. Dan CUMA MIMPI KAH?" Gumamnya dalam hati, mengucek-ngucek matanya. Dia terlihat tidak semangat hari itu. Dan sebelumnya, ia mengecek 2 kali buku PR Fisikanya yang sudah ia masukka tadi malam ke dalam tas sekolahnya. Ia segera mandi, berpakaian seragam, shalat subuh, kemudian sarapan. Dan karena sarapan itulah ia terlihat lebih segar dan semangat. Padahal semata-mata, itu untuk menghilangkan kemungkinan bahwa ia akan merasa kelaparan setelah pelajaran biologi nanti. Sesuai dengan mimpinya.
Pagi itu, cuaca berawan, agak mendung. Untuk mengantisipasi hujan, Mia segera menstarter motornya. Motor yang selalu menemani langkahnya. Vario biru tua yang dibelikan orang tuanya setelah ia meraih juara umum di SMP dulu. Dan sekarang, umur motor itu sudah 1 tahun penuh.
Perjalanan ke sekolah kurang lebih 7 km. Dan karena jarak yang cukup jauh itu, orang tua Mia yang sederhana mengkreditkan motor untuk anaknya itu. Saat itu, Mia mengendarai motor dengan hati-hati, namun cukup kencang. Takut kalau akan turun hujan. Dan benar, ketika motornya masuk gerbang sekolah, tetesan hujan rintik-rintik menyertainya. "Untung aja bawa jaket!" Gumamnya dalam hati. Ia mengeluarkan jaket dari tasnya, kemudian membalutkan jaket itu ke badannya. Se-turun-nya Mia dari motornya, ia bertemu dengan Nita. "Hai Mi! Barengan ya. Tunggu aku bentar." Mia mengangguk.
Selama kelas biologi berlangsung, Mia telah berhasih menyelesaikan presentasenya sesuai dengan yang tertera di mimpinya. "De Javu!" Gumamnya pelan. Ia terlihat senang, namun tiba-tiba perasaannya gelisah. Ia kembali mengecek buku PR Fisikanya, yang ternyata, TIDAK ADA. Ia terkejut, kemudian memeriksa kembali tasnya. Mengeluarkan semua buku-bukunya, dan ternyata, ya, memang tidak ada. "Astagfirullah Al azim! Mana bukuku!?" Mia bergumam-gumam sendiri. Dan hatinya semakin mencelos, ketika langkah sepatu pak Situmorang berbunyi di teras kelasnya. "Woi, duduk semuanya!" Sahut Hari. Secara stimologis, Hari berhasil memerintahkan kami untuk duduk, begitu pula dengan Mia. Namun bagaimana dengan PR-nya?
"Pagi semua. Kumpulkan PR kalian. Bapak ada perlu, jadi tidak bias mengajar kalian hari ini." Ucap Pak Situmorang, sambil duduk di kursi "special"-nya (maksudnya untuk guru-guru) itu. Dengan berat hati Mia maju ke depan kelas, menemui bapak itu. "Pa..Pak, saya,, anu .. saya, buku PR fisika saya tinggal pak." "Tinggal? Kamu gak buat? Jangan cari-cari alasan!" "Iya pak! Sumpah! Saya buat, tapi, bukunya tinggal di rumah." "Buktikan kalo kamu tidak berbohong dalam 10 menit!" "Kasih saya 15 menit ya pak. Saya jemput sekarang juga." "Oke. 15 menit."
Mia kemudian kembali ke tempat duduknya. Mengambil jaket, hanphone, dan kunci motor. Banyak teman-temannya bertanya, akan ke mana dia. Namun, langkah Mia mengalahkan kencangnya berpuluh pertanyaan yang akan dilemparkan oleh teman-temannya itu. Setibanya di parkiran, ia mengeluarkan motornya, meminta izin kepada Pak Satpam, atas nama pak Situmorang untuk pulang ke rumah sebentar. Dengan agak sedikit keberatan, pak satpam membukakan gerbang, dan mengizinkan Mia keluar. "Thanks pak!" Sahut Mia keras. Pak satpam hanya tersenyum. Dengan penuh keyakinan, Mia menancap gas sekencang mungkin. Dalam 7 menit, ia sampai di rumah. Mencari-cari buku PR Fisikanya yang ternyata ada di meja makan. Kemudia berpamitan lagi pada ibunya. Ibunya hanya heran melihat anaknya, dan tidak bias berkata apa-apa. Sekali lagi, Mia memacu motornya kembali dengan kecepatan penuh, di persimpangan dekat sekolah, ia menambah kecepatannya lagi, namun.
Gubrak! Ada orang yang sedang menyebrang, dan MIA MENABRAK ORANG ITU. Orang itu terpental, jatuh ke tengah jalan, dan kakinya digilas oleh mobil Xenia yang kebetulan berjalan melawan arah dari arah motor Mia. Orang yang Mia tabrak itu mulai kenjang kejang. Tubuhnya bersimbah darah. Mia ketakutan setengah mati. Napasnya mulai ter-engah-engah. Lututnya mulai lemas, kemudian ia menepikan motornya, memasang standar, dan segera turun untuk berniat menolong orang yang ia tabrak itu. Kepalanya mulai pusing, dan perutnya mual tak jelas. Ketika ia mendekati orang yang ia tabrak itu, dan astaga, tubuhnya semakin melemah. Ia melihat sekeliling orang-orang yang melihatnya dan melihat orang yang ia tabrak itu. Jumlah mereka memang tidak banyak, namun cukup untuk menjadi saksi mata kejadian tersebut. Ia mendekati orang yang ia tabrak itu, merangkul orang itu, dan bergumam, "Pak, Mia minta maaf. Mia sudah bawa buku PR Fisika Mia tadi." Air mata Mia mulai berlinang. Orang yang ia tabrak itu ternyata adalah Pak Situmorang. Guru Fisikanya. Sepersekian detik kemudian, telpon Pak Situmorang berbunyi. "Angkat." Kata bapak itu lirih. Suaranya parau karena menahan rasa sakit dan marah.
"Halo. Albert !" (nama lengkap bapak itu Albert Situmorang). Mia kemudian menekan tombol Loadspeaker handphone bapak itu supaya terdengar jelas olehnya. Mia mendekatkan handphone itu ke telinga bapak itu. "Cepat Sayang! Istrimu sebentar lagi melahirkan. Dan karena anak pertama ini, kau harus menemani istrimu!" Sontak, Mia terkejut, air matanya semakin mengalir deras. Orang-orang di sekitar hanya dapat melihat. Mereka tidak tahu, apa yang harus dilakukan. "Halo! Albert! Kau masih di situ? Kau dengar? Ini istrimu: Halo papa, anak kita sebentar lagi lahir pa. Cepat ke sini ya." Air mata Pak Situmorang mulai berlinang, Ia menutup mata karena menahan rasa sakitnya. "Tolong bawa bapak ke rumah sakit." Suaranya parau dan halus. Sulit untuk di dengar, namun orang-orang telah mengerti maksudnya. Mereka mebantu Pak Situmorang masuk ke dalam mobil Xenia itu, sang pemilik mobil terlihat bertanggung jawab. Ia membatu bapak itu ke rumah sakit. Semenatara, seoran bapak-bapak mengantar Mia pulang.
Seminggu Mia menutuskan untuk tidak sekolah. Orang tuanya yang mengurus semuanya. Dan syukurlah, Pak Situmorang tidak mengalami cedera parah. Istrinya dapat menyelesaikan persalinan dengan lapang dada, dan melairkan anak perempuan yang cantik. Di sisi lain, Pak Situmorang harus menggunakan tongkat untuk berjalan selama satu bulan penuh.
Powered by Telkomsel BlackBerry®