Adakah Masadepan Disekolah

Edu Indonesia
0
Dewasa ini, pendidikan merupakan salah satu kebutuhan permanen manusia. Pola pikir manusia diatur dari sejauh mana ia memahami dan mendalami pendidikan. Pada hakikatnya, manusia diarahkan untuk berfikir rasional dan bahwa pendidikan adalah suatu faktor penting dalam upaya pembentukan realitas dalam mengembangkan sumber daya manusia, peningkatan kemampuan, pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Proses pendidikan sebagaimana diketahui; berjalan dan terjadinya hubungan timbal balik yang harmonis  yang melibatkan orang dewasa dan anak-anak dalam suatu aktivitas yang konstruktif, yakni dimana orang dewasa mengarahkan, memfasilitasi, membimbing, melatih, dan mendidik anak menuju kedewasaan; agar kelak dapat dan sanggup memenuhi tugas kehidupannya atas tanggung jawab sendiri dan memiliki integritas kepribadian yang utuh dalam cipta, rasa dan karsa.
Dalam pelaksanaannya, pendidikan membutuhkan proses transformasi yang didukung oleh sarana prasarana yang memadai, orang dewasa (pendidik) yang profesional, kurikulum yang “up-to date”, lingkungan  yang kondusif, dana yang mencukupi, sistem evaluasi, kepemimpinan yang kuat, dan anak didik yang termotivasi. Proses transformasi merupakan inti dari proses pendidikan yang sesungguhnya; dimana dalam masa transformasi inilah terjadi internalisasi kognisi, afeksi dan psikomotor pada diri seseorang  yang melahirkan sikap, perilaku, dan keahlian pada seseorang. Melalui proses transformasi ini anak dibimbing untuk bisa menjadi benar; diajari untuk pandai; dan dilatih untuk bisa. Hal ini sesuai dengan konsep pendidikan  itu sendiri yang mencakup tiga hal; mendidik; mengajar; dan melatih.
Sering orang melupakan tak terkecuali para pengambil kebijakan di bidang pendidikan; yang memandang bahwa pendidikan itu hanya dinilai dari aspek out-put semata dengan standar kognisi level rendah; bukan sebagai proses yang membutuhkan rentang waktu yang cukup lama; atau pendidikan dipandang secara parsial; tidak komprehenshif sebagaimana yang diutarakan sebelumnya. Hal inilah yang menyebabkan implementasi pendidikan menjadi kurang bermakna, dan kurang relevan dan ambigu dengan situasi nyata. Anak cenderung “gamang” dengan kehidupannya sendiri.
Kegiatan transformasi memang membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai, karena sarana dan prasarana tersebut merupakan faktor pendukung yang dapat berupa peralatan dan perlengkapan yang secara langsung maupun tidak langsung dipergunakan untuk menunjang proses belajar-mengajar; dapat berupa pelengkapan sekolah, seperti gedung, ruang kelas, meja, kursi, dan lain sebagainya. Selain itu, sekolah juga harus didukung oleh alat-alat (hardware dan software) dan media pembelajaran yang memadai. Hal ini dibutuhkan agar tercipta suasana dan iklim pembelajaran yang kondusif dan menyenangkan. Masalah yang sering terjadi sarana dan prasarana dimaksud pemanfaatannya kurang optimal; pemilihan strategi, prosedur, media dan alat yang dipergunakan dalam proses belajar-mengajar kurang tepat; sehingga terkadang anak menjadi kurang memahami apa sesungguhnya yang harus dipelajari dan dimengerti.
Sekolah yang baik juga perlu didukung oleh tenaga pendidik yang profesional, orator yang handal, yang mampu berinteraksi dengan baik kepada anak didiknya, bukan hanya sekedar penyampai materi pembelajaran lalu memberikan soal-soal untuk dijawab; melainkan juga pendidik yang dapat mengembangkan potensi yang dimiliki anak didiknya, baik secara kompetitif maupun  komperatif. Pendidik juga harus memiliki kemampuan akademik dengan berbagai keterampilan mengajar yang baik seperti keterampilan membuka dan menutup pelajaran; keterampilan bertanya; keterampilan memberikan variasi-stimulus; keterampilan mengelola kelas dan kelompok; keterampilan memberikan penguatan (reinvorcement); keterampilan menjelaskan materi; keterampilan mengelola laboratorium; keterampilan menggunakan media/alat peraga, dan sebagainya. Disamping itu, pendidik yang baik juga harus memiliki kemampuan pengembangan penelitian dimana mereka dituntut melakukan berbagai survey, penelitian, dan inovasi terhadap sistem pembelajaran yang digelutinya. Kemampuan melakukan penelitian ini memungkinkan guru dapat menemukan kesalahan-kesalahannya dan untuk selanjutnya memperbaikinya ke arah yang lebih baik. Selanjutnya, pendidik juga dituntut menguasai aspek-aspek psikologis anak; yang tahu tentang makna pertumbuhan dan tugas-tugas perkembangan; emosi, motivasi, sikap, intlegensi; keperibadian; dan sebagainya.
Bila dicermati secara seksama, bahwa selama ini pembelajaran yang ada cenderung mengarah pada pola hubungan antara pendidik dan anak didik searah (directions); hanya sekedar bercerita (narrative); artinya, seorang subjek yang bercerita (pendidik) dan objek yang patuh dan mendengarkan (anak didik). Pendidikan bercerita ini cendrung membatasi ruang gerak dan daya cipta anak dalam memahami arti pendidikan. Pendidik sering sekali mengartikan anak sebagai sebuah bejana ataupun kertas kosong yang dengan leluasa pendidik memproyeksikan dirinya ke dalam kekehidupan anak. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh pakar pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Prof. Dr. Anah Suhaenah, bahwa pendidikan dan pembelajaran yang terjadi selama ini dinilai kurang demokrasi, dimana masih banyak pendidik yang salah mempergunakan ataupun mengartikan posisinya sebagai sosok yang mengarahkan, mendidik dan melatih anak didiknya. Peserta didik kurang diberi kesempatan untuk berimajinasi, dan berkreasi. Ia juga memandang berbagai metode pembelajaran yang menekankan  kreatifitas dan kritis, seperti cara belajar siswa aktif atau problem base learning, sulit berhasil karena cara evaluasi belum sesuai diharapkan.
System pendidikan yang terjadi saat ini juga lebih mengarah  kepada kognitif oriented semata, artinya implementasi pendidikan lebih tertuju pada penjajalan aspek pengetahuan akademis, sehingga aspek yang lain seolah diabaikan. Seharusnya ada keseimbangan antara keduanya, sehingga anak lebih mampu memilih bidang yang sesuai potensi, bakat dan minatnya tanpa adanya keterpaksaan.
Selama ini anak cenderung ditagih daya ingatnya. Alhasil, pendidik pun sibuk memberikan berbagai masukan untuk dihapal. Anak didik tidak pernah diajar untuk belajar tetapi cendrung berlatih menjawab soal tes. Dalam suatu pembelajaran yang diperlukan adalah evaluasi untuk melihat bagaimana anak berproses. Tagihan tersebut terkait kreatifitas, praktik dan  evaluasi menggunakan portofolio untuk menilai anak.
Apa yang diungkapkan Prof. Dr. Anah Suhaenah juga dibenarkan oleh Kepala Pusat Pengembangan Guru Terpadu (P3GT) Bandung, Abdorrakhman Ginting bahwa apa yang selama ini terjadi bukan tidak disadari; “ada upaya-upaya tertentu agar suasana kelas lebih demokrasi” demikian katanya dalam suatu kesempatan. Upaya-upaya yang dilakukan antara lain adalah dengan dilaksanakannya pelatihan berbagai metode pembelajaran kepada para guru sehingga nantinya suasana kelas juga bisa berubah. Saat ini dilakukan pendekatan PAKEM yakni suatu pola pendekatan pendidikan aktif, kreatif dan menyenangkan. Banyak teori yang diberikan kepada para guru, tetapi setelah selesai pelatihan dan guru ingin menerapkannya di sekolah; justeru dianggap keluar jalur dan dia memandang perlu adanya gerakan masal dan intens untuk melakukan demokratisasi pendidikan.
Disamping itu, sekolah juga membutuhkan pemimpin yang bersifat transformasional, yang mampu mengarahkan setiap komponen yang ada di sekolah dengan nilai-nilai positif seperti merencanakan, memanfaatkan, dan mengembangkan setiap sumber daya yang ada; baik dana, lingkungan, ataupun potensi sekolah lainnya. Namun, yang selama ini  terjadi adalah kurangnya otonomi dan kesempatan yang diberikan kepada sekolah sehingga pengelolaan sekolah cenderung bersifat makro oriented, artinya orientasi pendidikan banyak diatur oleh pusat kekuasaan, padahal banyak yang semestinya dapat dilakukan oleh tingkatan mikro seperti di sekolah. Hal ini yang menyebabkan sistem pendidikan di sekolah-sekolah yang ada menjadi tidak sistematis dan kurang sesuai kondisi setiap sekolah. Seharusnya, para pengambil kebijakan memberikan otonomi yang seluas-luasnya dalam mengatur sekolahnya agar masing-masing sekolah dapat mengarahkan dan memberdayakan secara maksimal setiap komponen sumber daya yang ada di sekolah.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sekolah yang layak dan bermutu memiliki banyak variabel penentu; bukan hanya pada kelengkapan fasilitas semata, melainkan lebih dari itu; sekolah yang layak harus didukung oleh konsepsi yang benar tentang pendidikan itu sendiri dari semua stake-holder yang ada, ketersediaan tenaga pendidik yang profesional, sarana yang memadai, dukungan dana yang mencukupi, lingkungan yang kondusif, dan lain sebagainya yang dikendalikan oleh sistem kepemimpinan yang baik. Sebab dari sekolahlah budaya tersebut di bentuk. Budaya yang membudidaya. By : Hylda Khairah Putri                                                                                  Perawang, 03/05/2010/

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)