Dewasa ini, pendidikan merupakan salah satu kebutuhan permanen manusia. Pola
 pikir manusia diatur dari sejauh mana ia memahami dan mendalami 
pendidikan. Pada hakikatnya, manusia diarahkan untuk berfikir rasional 
dan bahwa pendidikan adalah suatu faktor penting dalam upaya pembentukan
 realitas dalam mengembangkan sumber daya manusia, peningkatan 
kemampuan, pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Proses pendidikan 
sebagaimana diketahui; berjalan dan terjadinya hubungan timbal balik 
yang harmonis  yang melibatkan orang dewasa dan anak-anak dalam suatu 
aktivitas yang konstruktif, yakni dimana orang dewasa mengarahkan, 
memfasilitasi, membimbing, melatih, dan mendidik anak menuju kedewasaan;
 agar kelak dapat dan sanggup memenuhi tugas kehidupannya atas tanggung 
jawab sendiri dan memiliki integritas kepribadian yang utuh dalam cipta,
 rasa dan karsa.
Dalam
 pelaksanaannya, pendidikan membutuhkan proses transformasi yang 
didukung oleh sarana prasarana yang memadai, orang dewasa (pendidik) 
yang profesional, kurikulum yang “up-to date”, lingkungan  yang 
kondusif, dana yang mencukupi, sistem evaluasi, kepemimpinan yang kuat, 
dan anak didik yang termotivasi. Proses transformasi merupakan inti dari
 proses pendidikan yang sesungguhnya; dimana dalam masa transformasi 
inilah terjadi internalisasi kognisi, afeksi dan psikomotor pada diri 
seseorang  yang melahirkan sikap, perilaku, dan keahlian pada seseorang.
 Melalui proses transformasi ini anak dibimbing untuk bisa menjadi 
benar; diajari untuk pandai; dan dilatih untuk bisa. Hal ini sesuai 
dengan konsep pendidikan  itu sendiri yang mencakup tiga hal; mendidik; 
mengajar; dan melatih.
Sering
 orang melupakan tak terkecuali para pengambil kebijakan di bidang 
pendidikan; yang memandang bahwa pendidikan itu hanya dinilai dari aspek
 out-put semata dengan standar kognisi level rendah; bukan sebagai 
proses yang membutuhkan rentang waktu yang cukup lama; atau pendidikan 
dipandang secara parsial; tidak komprehenshif sebagaimana yang 
diutarakan sebelumnya. Hal inilah yang menyebabkan implementasi 
pendidikan menjadi kurang bermakna, dan kurang relevan dan ambigu dengan
 situasi nyata. Anak cenderung “gamang” dengan kehidupannya sendiri.
Kegiatan
 transformasi memang membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai, 
karena sarana dan prasarana tersebut merupakan faktor pendukung yang 
dapat berupa peralatan dan perlengkapan yang secara langsung maupun 
tidak langsung dipergunakan untuk menunjang proses belajar-mengajar; 
dapat berupa pelengkapan sekolah, seperti gedung, ruang kelas, meja, 
kursi, dan lain sebagainya. Selain itu, sekolah juga harus didukung oleh
 alat-alat (hardware dan software) dan media pembelajaran yang memadai. 
Hal ini dibutuhkan agar tercipta suasana dan iklim pembelajaran yang 
kondusif dan menyenangkan. Masalah yang sering terjadi sarana dan 
prasarana dimaksud pemanfaatannya kurang optimal; pemilihan strategi, 
prosedur, media dan alat yang dipergunakan dalam proses belajar-mengajar
 kurang tepat; sehingga terkadang anak menjadi kurang memahami apa 
sesungguhnya yang harus dipelajari dan dimengerti.
Sekolah
 yang baik juga perlu didukung oleh tenaga pendidik yang profesional, 
orator yang handal, yang mampu berinteraksi dengan baik kepada anak 
didiknya, bukan hanya sekedar penyampai materi pembelajaran lalu 
memberikan soal-soal untuk dijawab; melainkan juga pendidik yang dapat 
mengembangkan potensi yang dimiliki anak didiknya, baik secara 
kompetitif maupun  komperatif. Pendidik juga harus memiliki kemampuan 
akademik dengan berbagai keterampilan mengajar yang baik seperti 
keterampilan membuka dan menutup pelajaran; keterampilan bertanya; 
keterampilan memberikan variasi-stimulus; keterampilan mengelola kelas 
dan kelompok; keterampilan memberikan penguatan (reinvorcement); 
keterampilan menjelaskan materi; keterampilan mengelola laboratorium; 
keterampilan menggunakan media/alat peraga, dan sebagainya. Disamping 
itu, pendidik yang baik juga harus memiliki kemampuan pengembangan 
penelitian dimana mereka dituntut melakukan berbagai survey, penelitian,
 dan inovasi terhadap sistem pembelajaran yang digelutinya. Kemampuan 
melakukan penelitian ini memungkinkan guru dapat menemukan 
kesalahan-kesalahannya dan untuk selanjutnya memperbaikinya ke arah yang
 lebih baik. Selanjutnya, pendidik juga dituntut menguasai aspek-aspek 
psikologis anak; yang tahu tentang makna pertumbuhan dan tugas-tugas 
perkembangan; emosi, motivasi, sikap, intlegensi; keperibadian; dan 
sebagainya.
Bila
 dicermati secara seksama, bahwa selama ini pembelajaran yang ada 
cenderung mengarah pada pola hubungan antara pendidik dan anak didik 
searah (directions); hanya sekedar bercerita (narrative); 
artinya, seorang subjek yang bercerita (pendidik) dan objek yang patuh 
dan mendengarkan (anak didik). Pendidikan bercerita ini cendrung 
membatasi ruang gerak dan daya cipta anak dalam memahami arti 
pendidikan. Pendidik sering sekali mengartikan anak sebagai sebuah 
bejana ataupun kertas kosong yang dengan leluasa pendidik memproyeksikan
 dirinya ke dalam kekehidupan anak. Hal ini sesuai dengan apa yang 
dinyatakan oleh pakar pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), 
Prof. Dr. Anah Suhaenah, bahwa pendidikan dan pembelajaran yang terjadi 
selama ini dinilai kurang demokrasi, dimana masih banyak pendidik yang 
salah mempergunakan ataupun mengartikan posisinya sebagai sosok yang 
mengarahkan, mendidik dan melatih anak didiknya. Peserta didik kurang 
diberi kesempatan untuk berimajinasi, dan berkreasi. Ia juga memandang 
berbagai metode pembelajaran yang menekankan  kreatifitas dan kritis, 
seperti cara belajar siswa aktif atau problem base learning, sulit 
berhasil karena cara evaluasi belum sesuai diharapkan. 
System pendidikan yang terjadi saat ini juga lebih mengarah  kepada kognitif oriented
 semata, artinya implementasi pendidikan lebih tertuju pada penjajalan 
aspek pengetahuan akademis, sehingga aspek yang lain seolah diabaikan. Seharusnya
 ada keseimbangan antara keduanya, sehingga anak lebih mampu memilih 
bidang yang sesuai potensi, bakat dan minatnya tanpa adanya 
keterpaksaan. 
Selama
 ini anak cenderung ditagih daya ingatnya. Alhasil, pendidik pun sibuk 
memberikan berbagai masukan untuk dihapal. Anak didik tidak pernah 
diajar untuk belajar tetapi cendrung berlatih menjawab soal tes. Dalam 
suatu pembelajaran yang diperlukan adalah evaluasi untuk melihat 
bagaimana anak berproses. Tagihan tersebut terkait kreatifitas, praktik 
dan  evaluasi menggunakan portofolio untuk menilai anak.
Apa
 yang diungkapkan Prof. Dr. Anah Suhaenah juga dibenarkan oleh Kepala 
Pusat Pengembangan Guru Terpadu (P3GT) Bandung, Abdorrakhman Ginting 
bahwa apa yang selama ini terjadi bukan tidak disadari; “ada upaya-upaya
 tertentu agar suasana kelas lebih demokrasi” demikian katanya dalam 
suatu kesempatan. Upaya-upaya yang dilakukan antara lain adalah dengan 
dilaksanakannya pelatihan berbagai metode pembelajaran kepada para guru 
sehingga nantinya suasana kelas juga bisa berubah. Saat ini dilakukan 
pendekatan PAKEM yakni suatu pola pendekatan pendidikan aktif, kreatif 
dan menyenangkan. Banyak teori yang diberikan kepada para guru, tetapi 
setelah selesai pelatihan dan guru ingin menerapkannya di sekolah; 
justeru dianggap keluar jalur dan dia memandang perlu adanya gerakan 
masal dan intens untuk melakukan demokratisasi pendidikan.
Disamping
 itu, sekolah juga membutuhkan pemimpin yang bersifat transformasional, 
yang mampu mengarahkan setiap komponen yang ada di sekolah dengan 
nilai-nilai positif seperti merencanakan, memanfaatkan, dan 
mengembangkan setiap sumber daya yang ada; baik dana, lingkungan, 
ataupun potensi sekolah lainnya. Namun, yang selama ini  terjadi adalah 
kurangnya otonomi dan kesempatan yang diberikan kepada sekolah sehingga 
pengelolaan sekolah cenderung bersifat makro oriented, artinya 
orientasi pendidikan banyak diatur oleh pusat kekuasaan, padahal banyak 
yang semestinya dapat dilakukan oleh tingkatan mikro seperti di sekolah.
 Hal ini yang menyebabkan sistem pendidikan di sekolah-sekolah yang ada 
menjadi tidak sistematis dan kurang sesuai kondisi setiap sekolah. 
Seharusnya, para pengambil kebijakan memberikan otonomi yang 
seluas-luasnya dalam mengatur sekolahnya agar masing-masing sekolah 
dapat mengarahkan dan memberdayakan secara maksimal setiap komponen 
sumber daya yang ada di sekolah.
Dari
 uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sekolah yang layak dan bermutu 
memiliki banyak variabel penentu; bukan hanya pada kelengkapan fasilitas
 semata, melainkan lebih dari itu; sekolah yang layak harus didukung 
oleh konsepsi yang benar tentang pendidikan itu sendiri dari semua 
stake-holder yang ada, ketersediaan tenaga pendidik yang profesional, 
sarana yang memadai, dukungan dana yang mencukupi, lingkungan yang 
kondusif, dan lain sebagainya yang dikendalikan oleh sistem kepemimpinan
 yang baik. Sebab dari sekolahlah budaya tersebut di bentuk. Budaya yang
 membudidaya. By : Hylda Khairah Putri                                                                                  Perawang, 03/05/2010/
-min.png) 

 
-min.png)