Suasana panggung seni “Kampoeng Art” tiap malam semakin seru di ajang  “Sanur Village Festival (SVF) 2010. Pada Kamis malam (5/8), tarian  Saman dari Aceh mampu memukau penonton, selain itu juga ada pementasan  pembacaan puisi oleh Moch Satria Welang, pementasan teater sahaja, live  musik trio No Stress, serta pemutaran film dokumenter WS Rendra.
Selanjutnya pada malam kedua seperti malam pertama yaitu pembacaan  puisi oleh penyair muda Friska. Friska adalah penyair muda yang memiliki  segudang prestasi dan salah satunya adalah membacakan puisi di depan  Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Pada malam ke dua terdapat sesuatu yang unik dari malam pertama yaitu  adanya ’performance’ garapan seniman Solo Jawa Tengah yang membawakan  karya barong kontemporer, musik dari Patrick the Bastards, tarian Saman  Aceh serta ditutup dengan pemutaran film dokumenter Pramoedya Ananta  Tour.
Pertunjukan yang sangat menarik yaitu tarian Saman SMP Bakti Mulya  400 Jakarta Selatan. Penari-penari Saman Aceh yang boleh dibilang masih  belia membawakan tarian Saman dengan keriuh-riangannya.
Diawali dengan hening seolah membawa malam pada aura magis, namun  setelah itu gerakan cepat yang dipadu rebana bersautan menggerakkan  tangan dan tubuh-tubuh penari.
Gerakan mereka sangat kompak dan sangat mengingatkan akan ombak Sanur  yang tanpa henti gemulai menyapa hamparan pasir putih.
Penonton sangat takjub melihat penampilan mereka, karena mereka  menari justru turun dari panggung yang biasa digunakan pentas malam  Kampoeng Seni.
Ida Bagus Sutama koordinator Kampoeng Seni menjelaskan, mereka menari  dengan jumlah personel sekitar dua puluhan. Sementara panggung tidak  mencukupi, dan akhirnya diarahkan ke lahan berumput sebelah panggung  dengan alas yang memadai.
Upaya pemindahan tempat ini justru disambut gembira oleh grup penari  Saman, karena mereka sangat leluasa menari.
Sutama lebih lanjut mengatakan, mereka turun ke tanah dari panggung  benar-benar menyatu dengan segala elemen seni rupa yang dipamerkan di  Kampoeng Seni.
“Tari Saman dapat menyatu dan berdialog dengan karya instalasi saya  yang memang sangat ’colourfull’, kostum mereka yang bewarna-warni dipadu  tata lampu dan gerakan yang aktraktif diatas rumput hijau sangat luar  biasa mempesona setiap orang yang menyaksikan pertunjukan malam itu,”  tuturnya.
Yudha Bantono seorang penggiat seni ketika dimintai komentarnya  mengatakan bahwa tari Saman yang ditampilkan anak-anak SMP Bakti Mulya  400 Jakarta bukan sekadar tampil dan ikut serta dalam perhelatan SVF  2010.
Tari Saman benar-benar memberikan kontemplasi akan daerah Aceh yang  masih dalam ingatan dirundung bencana kedukaan yang dalam, akibat  bencana tsunami.
Namun begitu, kata dia, melihat penampilan mereka di kampung seni  benar-benar menampakkan pesona tersendiri penuh dengan suasana  keriangan.
“Para penari Saman yang menari turun dari panggung di tanah lapang  terbuka di atas rumput, sepertinya mereka datang ke Sanur untuk  menghormati Desa Sanur dan memberikan salam hangat penuh hormat kepada  ibu bumi Sanur,” ucapnya.
Dikatakannya, mereka bukan hanya menari namun juga membawa kepada  keharuan bagaimana mengingatkan kita akan kesantunan di tanah orang.
“Saya menyaksikan para penonton terpana bahkan berkaca-kaca. Susah  untuk mengungkapkan bahasanya karena ketakjupan akan tarian Saman di  ajang Kampoeng Seni SVF benar-benar membumi,” ujar Yudha.
Sementara Siti Nurjanah pendamping penari saman mengatakan, mereka  sangat berterimakasih bisa tampil di ajang tahunan tersebut.
Ia menambahkan bahwa anak-anak didiknya memang harus selalu belajar  dan terus tampil di berbagai ajang seni pertunjukan untuk menambah  wawasan maupun kepiawaiannya.
Menurut Siti Grup Tari Saman SMP Bakti Mulya 400 Jaksel pernah meraih  juara dalam festival tari Saman se-DKI Jakarta. “Grup kesenian nini  telah melakukan lawatan ke berbagai daerah, bahkan ke negara di Asean  dan sebelum ke Bali mereka baru saja tampil di Singapura,” jelas Siti.
Pohon Intaran
Panitia SVF ke-5 tahun 2010 memperkenalkan sesuatu yang unik dan  menarik bagi warga masyarakat dan wisatawan, pohon intaran atau mimba  atau neem (azadirachta indica).
“Kami memperkenalkan sebuah pohon yang menjadi ikon bagi Sanur. Pohon  tersebut adalah pohon intaran. Pohon ini tumbuh banyak di wilayah Sanur  dan hampir semua bagiannya bermanfaat bagi manusia,” kata Ida Bagus  Sidharta Putra yang akrab dipanggil Gusde.
Ia mengatakan, bahwa nilai historis pohon intaran ini, akan diangkat  dan dikombinasikan dengan sejarah Sanur, yang sampai saat ini diabadikan  menjadi nama kawasan desa wisata ini.
“Ini menjadi bukti kedekatan pohon intaran dengan Sanur. Program  lingkungan ’go green’ yang sempat diusung SVF tahun lalu sangat erat  kaitannya dengan program penanaman pohon intaran,” kata pemilik Hotel  Santrian.
Ia mengemukakan bahwa SVF tahun ini mengangkat tema “Saha Nuhur” atau  tempat suci terbitnya matahari untuk meminta berkah.
Menurut dia, eksistensi seni dan budaya di Sanur terjaga sejak  kehadiran orang-orang suci atau pemuka agama hingga saat ini. “Tema  ’Saha Nuhur’ yang memiliki makna bahwa Sanur adalah tempat suci  terbitnya matahari untuk meminta berkah. Tema ini sengaja diangkat untuk  mengingatkan kehadiran Sanur bagi Bali,” katanya.
Dia mengatakan, Sanur sebagai tujuan pariwisata mampu mempertahankan  budayanya di tengah serangan budaya luar. Kehadiran pendeta-pendeta di  Sanur membawa tatanan baru bagi kehidupan di wilayah itu.
“Golongan pendeta ini menjadi panutan yang begitu kental untuk  mengawal budaya tradisional hingga kini,” ucap pria yang juga praktisi  pariwisata Bali itu.
Dikatakan, pihaknya berupaya mengangkat kembali potensi Sanur. Dan  pelaksanaan kegiatan akan kembali di lokasi semula, yakni Jalan Segara.
“Sebelumnya SVF sempat kami gelar di Pantai Mertasari. Namun sekarang  kembali digelar di sepanjang pantai Inna Grand Bali Beach dan Jalan  Segara Sanur,” katanya.
Sumber kompas.com
-min.png) 

 
-min.png)