 By : Catatan   Agus R. Sarjono Full
By : Catatan   Agus R. Sarjono Full
Berjumpa dan berbicara dari hari ke hati dengan remaja Ambon 
pascakerusuhan, meneguhkan keyakinan saya bahwa perbedaan ras, etnis, 
agama, dan budaya adalah sesuatu yang berharga: ia rahmat bagi manusia. 
Dalam pembicaraan dari hari ke hati itulah makin menguat pula pendapat 
saya bahwa musuh terbesar manusia dan kemanusiaan adalah kebencian dan 
kebodohan. Kebencian membuat manusa tak sanggup berpikir dan bertindak 
adil. Kebodohan membuat sang kebencian mudah dikipas dan dibudidayakan. 
Hampir semua jenis tawuran merupakan perpaduan harmonis antara kebodohan
 dengan kebencian.
Di Ambon itu, Joni Ariadinata dan saya masih 
menjadi instruktur menulis yang paling pol dipanggil “Kakak”, tapi dalam
 tempo singkat H. Fredie Arsi sudah didaulat menjadi ayah bagi semua 
peserta, baik Muslim maupun Nasrani, dan senantiasa disapa dengan hormat
 dan sayang sebagai “Papa Fredie”. Tugasnya adalah memberi workshop 
musikalisasi puisi, tapi ini tak pernah terjadi. Saya dan Bang Fredie 
sudah bertahun-tahun berpasangan, mengelilingi separuh Indonesia: ia 
memberi works shop musikalisasi puisi, saya memberi work shop menulis. 
Namun, selalu saja ia menjadi Papa bagi semua peserta. Maka musikalisasi
 puisi itu pun tumbuh begitu saja di kalangan “anak-anak”-nya tanpa Papa
 Fredie harus bersusah payah. Dia duduk nyaman sebagai seorang ayah dan 
memperlakukan mereka semua sebagai anak-anaknya: memberi semangat, 
menasehati, memarahi, memimpin doa, menjadi tempat curhat mulai masalah 
cinta remaja sampai masalah rumah tangga, mulai dari urusan sekolah 
hingga ekonomi keluarga. Diakhir kunjungan kami selama beberapa hari, 
sudah bermunculan penggiat musikalisasi puisi.
Ketika saya korek 
rahasia apa kiranya yang membuat dia selalu didaulat menjadi Papa di 
mana-mana, ia hanya menjawab pendek: Cinta!
Saya tercenung. Saya tidak ingat apa persisnya pengertian “cinta” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
 yang saya ingat cinta adalah lawan kata dari benci dan kebencian. 
Rupanya bukan teknik dan kiat musikalisasi puisi yang selama ini 
ditebarkannya pada para peserta works shop dimanapun kami berdua tampil 
bersama, melainkan cinta. Dengan cinta itulah, kecintaan para peserta 
pada sastra dan musikalisasi puisi ia tumbuhkan. Saya kira, cinta itulah
 yang telah membuat para remaja korban Tsunami di Aceh –ada yang 
terseret arus berjam-jam, ada yang kehilangan orang tua, ada yang 
kehilangan tempat tinggal– yang dihampirinya bisa kembali tertawa dan 
punya daya hidup. Cinta itu pulalah yang membuat seorang suster Nasrani 
di Ambon berurai airmata membuka hati mendedah luka padanya, serta 
menghadiahi Fredie Arsi yang Muslim dengan sebuah tasbih. Cinta juga 
kiranya yang membuat para remaja di Ternate bermanja-manja padanya.
Di
 tengah kesibukan memberi works shop pada para remaja Ambon pasca 
kerusuhan bersama Fredie Arsi itulah, tiba tiba saya mendapat telpon 
yang mengabarkan bahwa penyanyi kesayangan saya, Lucianno Pavarotti, 
meninggal dunia. Saat itu bulan September tahun 2007.
Diam-diam 
saya sedih kehilangan sosok yang suaranya menjadi anugerah dan rahmat 
bagi manusia dari berbagai belahan dunia. Keterlibatannya dalam sejumlah
 duet dengan penyanyi rock dan pop membuat namanya jadi kontroversi, 
dipuji tapi lebih banyak dikecam karena dianggap sudi merendahkan diri 
bercampur gaul dengan dunia pop, bukannya bertahta dengan tenang dan 
mulia di singgasana musik klasik dan opera. Seorang pensiunan guru 
sekolah dari Roma yang menganggap Pavarotti memberi angin baru pada 
khasanah klasik, menyesalkan keterlibatan Pavarotti dalam sejumlah duet 
dengan para penyanyi pop. Sudah barang tentu Gemma Luzzi, nama pensiunan
 itu, segera setelah menyebutkan nama lengkapnya, segera dilupakan orang
 untuk selama-lamanya, tapi tidak dengan Pavarotti yang dikecamnya.
Pada
 dasarnya, seorang maestro akan tetap maestro dengan siapapun dia 
bercampur gaul. Sementara yang bukan maestro, meski bergaul dengan 
maestro, belum ada jaminan menjadi maestro. Tapi bukan itu soalnya. Bagi
 saya, Pavarotti lebih dari sekedar menyanyi untuk bersedap-sedap dengan
 dirinya, melainkan telah mengabdikan suara dan bakatnya untuk membantu 
korban bencana kemanusiaan di berbagai belahan dunia.
Haji Fredie 
sama sekali bukan bandingan Pavarotti dalam segala hal: bakat, suara, 
kemashuran, dan skala. Namun, entah mengapa, bulan lalu tahun ini, di 
tengah kesibukan memberi work shop pada guru sastra se-Indonesia, saat 
telpon saya berdering mengabarkan Haji Fredie Arsi telah tiada, saya 
tiba-tiba teringat pada Pavarotti. Selain sama-sama berjanggut, ada satu
 kesamaan antara keduanya: cinta. Cinta telah membuat Pavarotti tak 
peduli pada segala macam kategori, dan cinta pada Haji Fredie membuatnya
 tidak peduli dengan segala prasangka –suku, etknik, agama, dan 
keyakinan– yang coba membangun jarak antara dirinya dengan sang manusia.
Tidak
 perlu dikatakan bahwa saat kita mengetik nama Pavarotti di Google maka 
kita akan dibanjiri informasi tentangnya. Hal tersebut sungguh tidak 
mengherankan mengingat popularitasnya. Yang mengherankan adalah saat 
kita mengetik nama Fredie Arsi di Google, kita hampir tidak mendapat 
informasi apa-apa. Ketik saja nama artis atau selebriti gurem sekenanya,
 tentu kita akan panen informasi, tak peduli dia hanya muncul sekilas 
lalu hilang untuk selamanya. Padahal, kalau kita bertanya pada para 
remaja di berbagai belahan Indonesia yang giat bermusikalisasi puisi, 
pernah mendengar kata musikalisasi puisi, atau peminat musikalisasi 
puisi, maka semuanya tentu dengan riang akan menyatakan kenal dengan 
Papa Fredie.
Jamal D. Rahman pernah menyatakan bahwa jalan yang 
ditempuh Fredie Arsi dan Deavies Sanggar Matahari adalah “jalan sunyi”. 
Jalan setapak yang sulit dan penuh onak duri. Pendapat Jamal D. Rahman 
itu ada benarnya. Fredie Arsi tak pernah menjadi atau dijadikan bagian 
dari kehebohan media, meski puluhan tahun ia mendatangi sekolah demi 
sekolah, komunitas demi komunitas, mulai orang desa yang sederhana 
hingga anak-anak sekolahan.
Bahwa Haji Fredie bersama Deavies 
Sanggar Matahari memilih menempuh jalan sunyi, tentu patut kita hormati.
 Namun, bahwa nyaris seluruh anasir masyarakat, khususnya media massa, 
membiarkan dan memposisikan sosok besar penuh cinta ini di tempat yang 
sunyi tak tersentuh, sungguh membikin ciut hati.
Betulkan bangsa 
ini hanya bersedia memberi tempat bagi mereka yang bising dan penyuka 
kebisingan? Betulkan lampu dan pena media massa hanya dipersembahkan 
bagi sosok-sosok pengheboh konflik? Betulkah bangsa ini tak sudi memberi
 ruang bagi sosok-sosok pekerja keras, para pemupus kebencian dan 
penebar cinta, dan para penumbuh kerja sama penolak konflik, yang 
memilih untuk bekerja diam-diam: tidak cerewet dan bising?
Selamat jalan Bang Haji Fredie Arsi. Tahun depan, kami percaya musikalisasi 
puisi yang Abang perjuangkan puluhan tahun itu masih akan menggema. 
Tapi, nadanya tidak pernah akan sama, tanpa kehadiran senyum dan 
cintamu. Semoga Yang Maha Kuasa memelukmu dengan cinta sebesar yang kau 
tebarkan bagi anak-anak muda Indonesia. Tuhan Maha Mendengar, bahkan 
suara sunyi dan kebisuan sekalipun. Semoga bangsa yang kau cintai ini 
tidak hanya gemar keras-keras meneriakkan nama Tuhan, tapi juga sudi 
belajar mendengar dan menyimak suara cinta yang dilantunkan dalam sunyi 
dan kebisuan.Catatan ...(zgn)
-min.png) 

 
-min.png)