
Berjumpa dan berbicara dari hari ke hati dengan remaja Ambon
pascakerusuhan, meneguhkan keyakinan saya bahwa perbedaan ras, etnis,
agama, dan budaya adalah sesuatu yang berharga: ia rahmat bagi manusia.
Dalam pembicaraan dari hari ke hati itulah makin menguat pula pendapat
saya bahwa musuh terbesar manusia dan kemanusiaan adalah kebencian dan
kebodohan. Kebencian membuat manusa tak sanggup berpikir dan bertindak
adil. Kebodohan membuat sang kebencian mudah dikipas dan dibudidayakan.
Hampir semua jenis tawuran merupakan perpaduan harmonis antara kebodohan
dengan kebencian.
Di Ambon itu, Joni Ariadinata dan saya masih
menjadi instruktur menulis yang paling pol dipanggil “Kakak”, tapi dalam
tempo singkat H. Fredie Arsi sudah didaulat menjadi ayah bagi semua
peserta, baik Muslim maupun Nasrani, dan senantiasa disapa dengan hormat
dan sayang sebagai “Papa Fredie”. Tugasnya adalah memberi workshop
musikalisasi puisi, tapi ini tak pernah terjadi. Saya dan Bang Fredie
sudah bertahun-tahun berpasangan, mengelilingi separuh Indonesia: ia
memberi works shop musikalisasi puisi, saya memberi work shop menulis.
Namun, selalu saja ia menjadi Papa bagi semua peserta. Maka musikalisasi
puisi itu pun tumbuh begitu saja di kalangan “anak-anak”-nya tanpa Papa
Fredie harus bersusah payah. Dia duduk nyaman sebagai seorang ayah dan
memperlakukan mereka semua sebagai anak-anaknya: memberi semangat,
menasehati, memarahi, memimpin doa, menjadi tempat curhat mulai masalah
cinta remaja sampai masalah rumah tangga, mulai dari urusan sekolah
hingga ekonomi keluarga. Diakhir kunjungan kami selama beberapa hari,
sudah bermunculan penggiat musikalisasi puisi.
Ketika saya korek
rahasia apa kiranya yang membuat dia selalu didaulat menjadi Papa di
mana-mana, ia hanya menjawab pendek: Cinta!
Saya tercenung. Saya tidak ingat apa persisnya pengertian “cinta” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
yang saya ingat cinta adalah lawan kata dari benci dan kebencian.
Rupanya bukan teknik dan kiat musikalisasi puisi yang selama ini
ditebarkannya pada para peserta works shop dimanapun kami berdua tampil
bersama, melainkan cinta. Dengan cinta itulah, kecintaan para peserta
pada sastra dan musikalisasi puisi ia tumbuhkan. Saya kira, cinta itulah
yang telah membuat para remaja korban Tsunami di Aceh –ada yang
terseret arus berjam-jam, ada yang kehilangan orang tua, ada yang
kehilangan tempat tinggal– yang dihampirinya bisa kembali tertawa dan
punya daya hidup. Cinta itu pulalah yang membuat seorang suster Nasrani
di Ambon berurai airmata membuka hati mendedah luka padanya, serta
menghadiahi Fredie Arsi yang Muslim dengan sebuah tasbih. Cinta juga
kiranya yang membuat para remaja di Ternate bermanja-manja padanya.
Di
tengah kesibukan memberi works shop pada para remaja Ambon pasca
kerusuhan bersama Fredie Arsi itulah, tiba tiba saya mendapat telpon
yang mengabarkan bahwa penyanyi kesayangan saya, Lucianno Pavarotti,
meninggal dunia. Saat itu bulan September tahun 2007.
Diam-diam
saya sedih kehilangan sosok yang suaranya menjadi anugerah dan rahmat
bagi manusia dari berbagai belahan dunia. Keterlibatannya dalam sejumlah
duet dengan penyanyi rock dan pop membuat namanya jadi kontroversi,
dipuji tapi lebih banyak dikecam karena dianggap sudi merendahkan diri
bercampur gaul dengan dunia pop, bukannya bertahta dengan tenang dan
mulia di singgasana musik klasik dan opera. Seorang pensiunan guru
sekolah dari Roma yang menganggap Pavarotti memberi angin baru pada
khasanah klasik, menyesalkan keterlibatan Pavarotti dalam sejumlah duet
dengan para penyanyi pop. Sudah barang tentu Gemma Luzzi, nama pensiunan
itu, segera setelah menyebutkan nama lengkapnya, segera dilupakan orang
untuk selama-lamanya, tapi tidak dengan Pavarotti yang dikecamnya.
Pada
dasarnya, seorang maestro akan tetap maestro dengan siapapun dia
bercampur gaul. Sementara yang bukan maestro, meski bergaul dengan
maestro, belum ada jaminan menjadi maestro. Tapi bukan itu soalnya. Bagi
saya, Pavarotti lebih dari sekedar menyanyi untuk bersedap-sedap dengan
dirinya, melainkan telah mengabdikan suara dan bakatnya untuk membantu
korban bencana kemanusiaan di berbagai belahan dunia.
Haji Fredie
sama sekali bukan bandingan Pavarotti dalam segala hal: bakat, suara,
kemashuran, dan skala. Namun, entah mengapa, bulan lalu tahun ini, di
tengah kesibukan memberi work shop pada guru sastra se-Indonesia, saat
telpon saya berdering mengabarkan Haji Fredie Arsi telah tiada, saya
tiba-tiba teringat pada Pavarotti. Selain sama-sama berjanggut, ada satu
kesamaan antara keduanya: cinta. Cinta telah membuat Pavarotti tak
peduli pada segala macam kategori, dan cinta pada Haji Fredie membuatnya
tidak peduli dengan segala prasangka –suku, etknik, agama, dan
keyakinan– yang coba membangun jarak antara dirinya dengan sang manusia.
Tidak
perlu dikatakan bahwa saat kita mengetik nama Pavarotti di Google maka
kita akan dibanjiri informasi tentangnya. Hal tersebut sungguh tidak
mengherankan mengingat popularitasnya. Yang mengherankan adalah saat
kita mengetik nama Fredie Arsi di Google, kita hampir tidak mendapat
informasi apa-apa. Ketik saja nama artis atau selebriti gurem sekenanya,
tentu kita akan panen informasi, tak peduli dia hanya muncul sekilas
lalu hilang untuk selamanya. Padahal, kalau kita bertanya pada para
remaja di berbagai belahan Indonesia yang giat bermusikalisasi puisi,
pernah mendengar kata musikalisasi puisi, atau peminat musikalisasi
puisi, maka semuanya tentu dengan riang akan menyatakan kenal dengan
Papa Fredie.
Jamal D. Rahman pernah menyatakan bahwa jalan yang
ditempuh Fredie Arsi dan Deavies Sanggar Matahari adalah “jalan sunyi”.
Jalan setapak yang sulit dan penuh onak duri. Pendapat Jamal D. Rahman
itu ada benarnya. Fredie Arsi tak pernah menjadi atau dijadikan bagian
dari kehebohan media, meski puluhan tahun ia mendatangi sekolah demi
sekolah, komunitas demi komunitas, mulai orang desa yang sederhana
hingga anak-anak sekolahan.
Bahwa Haji Fredie bersama Deavies
Sanggar Matahari memilih menempuh jalan sunyi, tentu patut kita hormati.
Namun, bahwa nyaris seluruh anasir masyarakat, khususnya media massa,
membiarkan dan memposisikan sosok besar penuh cinta ini di tempat yang
sunyi tak tersentuh, sungguh membikin ciut hati.
Betulkan bangsa
ini hanya bersedia memberi tempat bagi mereka yang bising dan penyuka
kebisingan? Betulkan lampu dan pena media massa hanya dipersembahkan
bagi sosok-sosok pengheboh konflik? Betulkah bangsa ini tak sudi memberi
ruang bagi sosok-sosok pekerja keras, para pemupus kebencian dan
penebar cinta, dan para penumbuh kerja sama penolak konflik, yang
memilih untuk bekerja diam-diam: tidak cerewet dan bising?
Selamat jalan Bang Haji Fredie Arsi. Tahun depan, kami percaya musikalisasi
puisi yang Abang perjuangkan puluhan tahun itu masih akan menggema.
Tapi, nadanya tidak pernah akan sama, tanpa kehadiran senyum dan
cintamu. Semoga Yang Maha Kuasa memelukmu dengan cinta sebesar yang kau
tebarkan bagi anak-anak muda Indonesia. Tuhan Maha Mendengar, bahkan
suara sunyi dan kebisuan sekalipun. Semoga bangsa yang kau cintai ini
tidak hanya gemar keras-keras meneriakkan nama Tuhan, tapi juga sudi
belajar mendengar dan menyimak suara cinta yang dilantunkan dalam sunyi
dan kebisuan.Catatan ...(zgn)