Padang Purnama Oleh Hylda khairah

yatno id
0

Karya Ilmiah Essay Oleh : Hylda khairah Putri

            Senja mulai tenggelam, lantunan ayat-ayat Allah terdengar samar-samar menyambutku. Suaranya timbul-tenggelam, berasal dari sebuah benda kecil kebanggaan orang melayu dalam, Radio. Benda tua tanpa visual yang sudah belasan tahun usianya itu mewarnai perkakas rumah peyot ini. Sudah tiga hari ini aku tak pulang, menginap diantara ribuan pokok karet.  Menjadi penyedap getah. Lelah badan yang bercampur bau “ojol” membuatkku bergegas ingin mencuci tubuh. Rumah tampak sepi, mungkin ibu belum pulang. Kuletakkan pisau penakik getah dan talang sadap di bawah tangga. Namun, belum lagi aku melangkah masuk, kulihat ibu dan dua orang adikku mendorong gerobak berisi singkong. lalu segera kubantu ibu mendorong gerobak itu. Kali ini hasil panen  singkong tak begitu banyak. Musim penghujan membuat sebagian singkong gagal panen. 
Sepuluh tahun sudah, ibu mengurus tanah hibah milik pak cik Salim. Parasnya tetap tegar walau tubuhnya mulai melayu. Wanita pendiam yang tak banyak mengeluh akan keadaannya. Aku sadar betul, ibu menahan kepahitan di dalam hatinya. Sejak ayah meninggalkan kami, ibu memutuskan untuk pindah dan menetap di rumah ini, ia takut kalau suatu ketika ayah datang dan mengusik hidup kami lagi. Ibu selalu saja murung, takut dan gelisah bila siang telah berganti malam. Terkadang kulihat ibu mengigau dan terbangun di tengah malam. Pilu rasanya tapi, tak banyak yang dapat kuperbuat. Ayah,  Laki-laki tak tahu untung itu pergi setelah puas menyiksa dan menghabiskan harta ibuku dan meninggalkan luka pada hati ibuku. Laki-laki pemalas, bertabiat kasar dan suka berjudi. Aku masih ingat tangan kasarnya sering memukuli ibu. Tangan dan tubuh kecilku belum sanggup melawannya. Aku hanya bisa memeluk kedua adikku diam, gemetar ketakutan dan bersembunyi di bawah dipan. Dan mulai saat itu, aku berjanji pada diriku sendiri akan selalu menjaga ibu dan kedua adikku.

***
Hujan menerpa subuh, mataku yang masih ditarik mimpi menatap tak bersemangat bantal kapuk di atas tilam. Kudengar suara ibu mengaji di ruang depan. Mau tak mau aku harus bangkit, bergegas kembali membawa perlengkapanku menoreh karet dan menyusuri kebun karet milik orang lain. Aku hanya buruh karet harian. Maka semakin cepat berangkat, semakin banyak pula yang akan didapat.
Sudah tiga bulan setelah kutamat sekolah menengah atasku; aku tak lagi melanjutkan kuliah. Hal ini bukanlah pilihan. Aku tak mungkin membiarkan ibu bekerja sendiri; setidaknya sampai ijazahku keluar dan aku bisa melamar pekerjaan yang layak, sehingga ibu tak perlu bekerja lagi atau mungkin kulanjutkan mimpi untuk kuliah. Tapi, sepertinya itu tak mungkin.
Dua hari ini hujan lebat sepanjang hari, berharap rinai saja syukur. Getah jalang meluber dari dalam mangkuk-mangkuk penadah dan aroma tanah yang bercampur dedaunan lapuk mulai tercium, namun burung-burung pipit mulai bersahut-sahutan dengan ceria pertanda hujan mulai berhenti.
Hari ini, waktunya serah terima gaji. Memang tak banyak tapi, cukup untuk membeli beras. Sesampainya di rumah, kulihat ibu dengan jari-jarinya yang lentik memulai kebiasaan lamanya; memainkan pensil di atas kertas. Ibuku tak seperti kebanyakan wanita di kampungku, duduk bermalas-malasan dan suka berbicara tentang baik-jeleknya orang lain di warung atau di rumah tetangga. ibu lebih tenang. Ia lebih suka melukis, berkhayal dan bercerita melalui coretan gambar. Pelukis handal yang pernah kukenal yang mampu mengubah hal – hal sederhana menjadi mempesona seperti lukisan yang terpampang dihadapanku, lukisan dua orang anak yang sedang bermain layang di sebuah padang ilalang dibawah sinar purnama. Ia menyebut lukisan itu  dengan “Anak Biru” itu adalah lukisan pertamanya. Belakangan baru kutahu bahwa setiap lukisan sederhana ibu bermakna doa.
Dan disela-sela lelahnya di tengah malam yang syahdu; suara lantunan ayat Allah akan terdengar memecah dingin malam. Ibu juga terbiasa mengaji. Suara yang lirih, seperti mengadu pada sang Khaliq. Hatiku miris, ingin rasanya kubawa serta ibu keluar dari kesusahan ini. 
***
            Disudut jalan, tukang pos datang menghampiriku; membawa sepucuk surat. Surat berwarna putih gading itu berlambang tak asing bagiku. Sebuah lambang masa depan. Lama aku terdiam, memperhatikan sudut ke sudut surat ini. terkejut, rasa tak percaya, senang, semua bercampur karena tepat depan surat itu tertulis jelas nama sebuah universitas yang menerimaku. Aku berlari menyusuri jalanan setapak menuju rumah. Tak sabar rasanya ingin kutunjukkan kejutan ini pada ibu. “Akankah ia akan merasa gembira?” batinku menyapa, seketika langkahku berhenti. Aku tak tega menunjukkan surat ini kepada ibu. Pergi merantau ke negeri orang; yang aku pun tak tahu seluk beluk nya; tapi demi mimpiku, cita-citaku aku harus rela berkorban. Meninggalkan Ibu bersama dua orang gadis kecil, adikku. Aku yakinkan diriku bahwa aku akan sanggup mandiri. Namun apakah aku tega, membiarkan ibu bekerja banting tulang menghidupi ke dua adikku. Terlintas juga dalam pikiranku untuk meninggalkan saja semua mimpi dan cita-citaku dan tetap menjadi buruh karet.  Tapi, kesempatan tak  akan datang dua kali. Ibu adalah hartaku yang paling berharga. Kalaupun hal ini kusampaikan pada ibu, sudah pasti dia akan memaksaku untuk menerima tawaran tersebut.
Kulihat ibu duduk di ruang depan bersama kedua adikku. Dengan langkah bimbang, ku coba menghampirinya. Lalu perlahan kusodorkan  surat itu.  Ibu menatapku bingung, seperti  tak yakin dengan maksud kedatanganku, lalu mengambil surat itu. Dibacanya isi surat itu dengan seksama, kemudian dimasukkannya kembali. Raut wajahnya datar, menghela napas panjang. Tak menandakan reaksi apapun. Ibu masuk ke kamar tanpa sepatah kata pun. Aku terpaku tak mengerti.     
Malam hari, saat aku duduk di atas anak tangga rumah panggungku, ibu keluar membawa sebuah lukisan; “ Kau masih ingat lukisan ini, Nak?” ibu menunjukkan lukisan “Anak Biru” itu kepadaku. “Lukisan ini sengaja ibu buat untukmu, untuk semua doa tentang mimpimu, ibu tahu, tak mudah bagi orang seperti kita untuk bermimpi. tapi, percayalah Allah akan selalu mendengar doa hambanya yang mau berusaha ” ujar ibu seraya nenundukkan kepala. Saat itu, seperti dugaanku ku lihat air mata mengalir dari sudut matanya, terlihat ia begitu mengharapkanku. “ Tapi bagaimana dengan ibu dan kedua adik, bagaimana kalau ayah datang dan mengganggu ibu saat aku tak disini”  ibu hanya tersenyum. “ Ibu percaya pada Allah yang Maha Penyayang pada semua umatnya, kejarlah nak cita-citamu, tak usah kau pikirkan, ibu akan sedih bila tak kau lanjutkan cita-citamu” pinta ibu seakan memelas. Aku tak ingin mengecewakan ibu dan aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Doa ibu yang ternyata ia simpan melalui lukisan-lukisannya, ternyata didengar oleh Allah. Akhirnya kuputuskan untuk merantau, meninggalkan kebun karet yang telah menjadi saksi perjuanganku.
***
Sepuluh tahun dinegeri orang tak lantas membuatku lupa akan jalan pulang kerumah. Tak banyak yang berubah. Kebun karet, penghasil getah itu masih menemaniku menyelusuri kampong yang hampir tak terjamah pemerintah. Aku tiba. Perjalanan dua jam setengah menggunakan truk pengangkut hasil panen keret menjadi satu-satunya angkutan istimewa yang mengantarkanku pada sebuah rumah reyot yang tak layak huni. Kulihat seorang wanita paruh baya dengan kerutan wajah ketegaran yang semakin lama menampakkan garis kehidupanya yang menyedihkan. Beban yang ia pikul berhasil meruntuhkan kemolekan wanita yang dulu pernah menjadi bunga desa di kampong ini. Di belakangnya turut pula dua gadis manis yang saban hari membantunya mendorong hasil panen singkong.
Senang bukan main. Wanita yang kurindukan membuat sesak dadaku. Kini tengah berdiri memandangiku penuh selidik, menerka-nerka, apa benar aku anak yang ia tunggu selama ini. Tak tertahankan air mataku meleleh. Kucium punggung tangannya yang berkeriput dengan bekas luka bakar akibat kejahanaman ayahku, pria  yang tak tahu diuntung. Ia sukses menanam luka pada hati ibuku, aku dan adik-adikku. Kini, ia tak lagi mengganggu keluarga kecilku. Ia hilang bagai ditelan hutan belantara. Ironis memang. Ayah yang seharusnya pengayom, pelindung, dan pemberi nafkah bagi kami justeru kasar, penjudi, pemabuk dan tak bertanggung jawab dengan tanpa perasaan meninggalkan kami. Ibulah yang mengambil alih tanggung jawab keluargaku.
 Rumah lapuk ini masih seperti dulu. Tulisan kaligrafi dan sketsa wajah seorang wanita muda yang tak lain dan tak bukan adalah ibuku sendiri, masih senyum; terpampang menyambutku. Dan tak lupa radio tua hadiah kakek juga masih terpajang di ruang tamu. Orang Melayu Dalam seperti kami, gemar betul mendengarkan radio. Tak perduli siaran apa yang disiarkan kami tetap dengar dari benda tanpa visual itu. Seperti dugaanku, ibu masih sering bermain-main dengan pensil. Berpoles-poles imajinasi dan mengkhayal melalui goresan-goresan. Ini terlihat ketika aku memasuki ruang keluarga, sketsa wajah kedua adikku masih mewarnai rumah gundah ini. Beginilah ibuku berekspresi. Wanita pendiam ini yang menularkan bakat gambar-menggambar  padaku.
“ bagaimana sekolahmu disana?” suara lembutnya tak pernah berubah walau waktu lambat laun memakan umurnya. “Maaf, emakmu ini tak pernah bisa menunjungimu di perantauan” lanjutnya ringan sambil menghidangkan segelas teh di gelas tua kesayanganku dengan beberapa potongan singkong goreng hasil panennya.
“ Tak apa-apalah emak”  ku ambil sepotong singkong goreng yang paling besar. “ Mendengar kabar Mak dan adik-adik sehat saja, sudah membuatku bahagia ” aku mencoba mengeluarkan sesuatu dari dalam tas: Seperangkat alat lukis beserta kanvasnya. Sudah lama tak kulihat ibu memainkan kuas lewat jemarinya diatas kain kanvas. Wajahnya terlihat sumringah, mencium barang tersebut dengan senyum lebar dan bersorak-sorak bagai anak kecil. Terlihat dimatanya setitik embun bening lalu menetes membasahi pipinya. Air mata bahagia. “Sepertinya ibu hidup kembali, ibu akan melukis untukmu paling cantik yang belum pernah ibu buat” gumamnya lirih sambil menatapku tanpa berkedip sedikitpun.
Sore hari, menjelang Maghrib, usai melepas penat, kembali aku mengitari desa kecil kelahiranku; orang-orang kusapa dengan ramah meskipun mereka pada bingung akan kehadiranku. Sejenak kulihat dari sudut mataku, sebagaian mereka berbisik-bisik begitu melihat kehadiranku;  aku tetap berlalu,  kumanjakan mata hatiku mengobati pilu  rindu akan kampong halaman. Aku terus melangkah hingga tiba pada suatu lapangan luas yang ditumbuhi padang ilalang, di tengah puluhan hektar kebun karet. Padang Purnama; rumah kedua,  persembunyian rahasiaku kala ayah memarahi ibuku. Tempat sakralku melukis garis mimpi tentang masa depan. Kunikmati semilir  angin yang menari bersama Ilalang-ilalang hijau yang tumbuh seakan ingin menjangkau langit. Teduh nan senduh. Mataku tiba-tiba beralih memperhatikan gubuk tua di pinggir lapangan. Tempat itu biasanya menjadi tempatku berteduh kala kepanasan atau kehujanan. Tiba-tiba dari dalam, seorang laki-laki tua yang tengah berjalan tertatih menjinjing ember berisi air. Aku menghampirinya. Aku kaget dan terkejut  amat sangat. Kucoba berlari menghindar, tapi tak mampu.  Aku tak percaya dengan apa yang kulihat. Ia Ayahku. Aku terdiam, dan berharap ia tak mengenaliku. Benar saja, ia tak menyadari kehadiranku. Tapi aku keliru, tak lama terdengar suaranya memanggil; “Siapa yang ada disana?” Aku hanya terdiam, dalam hati berkata rupanya ia tak melihatku meskipun aku tak sempat bersembunyi. “O, rupanya ayah sudah buta” gumamku perlahan. Kudekati ia tapi tetap membisu. Sedikit terbersit rasa kasihan melihatnya, namun tatkala teringat apa yang dilakukannya pada kami, amarahku kembali memuncak. “ Bagaimana mungkin, laki-laki yang selama ini kukira telah mati dimakan harimau itu kini berada di hadapanku lemah dan tak berdaya. Mengapa dia bisa menemukan Padang Purmanaku?” hatiku menjerit. Pikiran dan perasaanku bercampur aduk. Ingin rasanya kuhujamkan gepalan tangan ku kewajahnya yang keriput. Tiba-tiba ia memegang tanganku; “kaukah itu Nov?” katanya coba menebak. Ia lalu menyentuh jari kelingking kiriku yang cacat. Bagaimana bisa dia ingat jari kelingkingku yang tak bisa tegak lurus itu. Ku lihat air matanya mengalir pelan. Ia buta.
 “Aku bapakmu  nak!” katanya perlahan, suaranya yang dulu keras seperti macan kini lembut dan  lemah. “bapak sudah tak bisa melihat” suaranya kembali terdengar memelas. “Bagaimana kabar ibumu, apa mereka sehat-sehat saja?” lanjutnya lagi. Seketika aku protes dan marah tatkala ia menyinggung nama ibu. “bapak  tak berhak menanyakan kabar ibuku” kataku ketus.
Aku bergetar-gemetar. Aku langsung berlari meninggalkannya. Sesampai di rumah, segera ku hampiri ibu. Kuceritakan semua yang terjadi padaku di padang purnama. Ibu menangis. Tak pernah aku lihat ia sesedih itu. Ia menarikku keluar rumah. “Dimana bapakmu berada?”  tangannya erat menggenggam tanganku. Aku tetap diam. “Untuk apa mengurus manusia yang pernah melukai jiwa dan raga emak?” tanyaku mencoba melepas tanganku dari genggaman tangannya. ” Ia buta mak” jawabku seenaknya. “Tapi bagaimanapun dia bapakmu”  katanya menatapku dengan tajam dan menghujam mataku.
“Aku tak ingin kau menjadi anak durhaka, kan kau sudah melihat balasan yang bapakmu terima akibat perbuatannya” katanya coba melunakkan hatiku. Berhari-hari beliau melamun. Tak makan dan tak mau minum, yang ada di hatinya hanya ayah. Aku tak mengerti apa yang ada dipikirannya. Bagaimana bisa ia mengharapkan laki-laki yang pernah mencambuknya dengan rotan hanya karena kalah berjudi atau kalau ia sedang mabuk berat. Mengapa ia masih mencintai ayah meskipun bertabiat buruk dan kejam. “Apa yang ada dibenak ibuku ini ?” gumamku perlahan. Pertanyaan itu terus mengiang di benakku. Sedasyat itukah cinta meluluhkan luka?
Saban sore, secara sembunyi-sembunyi aku pergi ke padang purnama untuk menemui ayahku. Meskipun aku marah padanya, demi ibu aku mencoba secara perlahan untuk menerimanya. Aku mencoba mengerti dan mengalah pada kenyataan tentang pentingnya sosok ayah bagi ibuku. “Hidup memang aneh nak!” katanya suatu ketika. “Apanya yang aneh?” kataku menghindari untuk memanggilnya ayah. “Aku kesini hanya karena kasihan melihatmu” kataku datar. Tapi dia tampaknya tetap tenang; tidak marah seperti biasanya. “Kamu boleh marah sama bapak, dan kamu berhak untuk itu. Bapakpun tak berharap kalian berbaik hati. Masalahnya disisa umur bapak yang tak seberapa ini lagi, Tuhan masih mengabulkan permohonan bapak  agar dapat berjumpa dengan kalian, meminta maaf atas segala kesalahan bapak pada kalian. Bapak sudah jauh mengembara hendak mencari kalian; hanya sekedar meminta maaf, namun tak berjumpa. Hingga akhirnya, ketika itu hujan deras. Langit menghitam dan petir sambung menyambung. Saat itu, bapak berdiri dibawah sebatang pohon rambutan, hingga bapak pingsan tak sadarkan diri. Entah berapa lama, tahu-tahu ayah merasa sekujur tubuh bapak perih; gelap; dan sakit sekali. Bapak mencoba untuk tegar, hingga akhirnya bapak menemukan gubuk ini untuk peristirahatan. Tuhan memang Maha Adil” katanya sambil meraba-raba dipan di sekitarnya; lalu ia terduduk sambil menghela nafas panjang. Perasaanku terharu, naluriku sebagai anak membuatku ingin sekali merangkulnya dan memaafkannya. “ sudihkah kau memaafkan bapakmu ini? ” batinku merintih. Air mataku perlahan menetes mengalir tak dapat membendung perasaan sedih dan rinduku padanya. Kupeluk erat dirinya. Kurangkul dan  kuajak ia kembali kerumah menemui ibu dan adik-adikku. “Kamu memang anak baik, nak!!” seru ayah ketika aku menuntunnya pulang menemui ibu. Aku hanya terdiam. “Bagaimana kabar adek-adekmu ? Bapak sangat menyesal sekali atas apa yang bapak lakukan kepada kalian selama ini” lanjutnya sedikit sesunggukan. Kali ini akupun terdiam  tidak  menjawab. Dari sudut matanya kulihat setetes air mata menitik; tapi cepat-cepat dihapusnya agar aku tak melihatnya. Kembali suasana hening dalam perjalanan itu. “Ayah kita mau sampai!!” kataku kegirangan. Tapi tiba-tiba saja ayah menghentikan langkahnya. “Sebaiknya ayah tidak usah masuk. Ayah malu sama ibumu” katanya ragu-ragu. Aku seakan tak mau mendengarnya, lalu berlari ke arah ibu yang telah berdiri di depan pintu menyambut kedatangan kami. “Suruh bapakmu masuk!” kata ibu lembut. Ibu menangis bahagia melihatku pulang membawa ayah.  Terlihat dimatanya  keceriaan.
Tapi baru saja ayah masuk, belum  sempat duduk di kursi goyang kesayangannya, tiba-tiba tubuhnya mengejang. Nafasnya tak beraturan. Kami panik.  Aku   mencoba membaringkan ayah di kursi dan memberinya minum. Tubuh ayah semakin mengejang. Aku keluar mencari pertolongan pada tabib desa. Tapi, nyawa ayah tetap tidak bisa tertolong.   
Tapi kami bahagia, kami sudah menemukan ayah kami kembali. Selamat pergi ayah; kami sudah memaafkanmu. Padang Purnama kembali sepi.
Karya ilmiah  Padang Purnama mendapat penghargaan oleh dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Riau. di SMAN PLUS RIAU " Bulana Bahasa 2011" senbagai Penulis Essay Terbaik.

Nama              : Hylda Khairah Putri
Sekolah           : SMA N 4 Siak
Alamat            : Jalan Hang jebat gang Al-barokah, Tualang perawang
 

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)