JELANG PANGGUNG TEATER SUMATERA-PADANG PANJANG (26-27 MARET)
Di stasiun kereta api Padang Panjang beberapa hari lalu, tepatnya
bagian bengkel (Dipo) lokomotif, udara yang cukup dingin pada malam, tak
ada kesibukan pekerja di dalam bengkel. Tak satu pun di antara dua
sekat ruang dengan dua rel buntu di dalamnya terdapat lokomotif. Hanya
beberapa orang mahasiswa Jurusan Teater Institut Seni Padang Panjang
(ISI) yang tergabung dalam teater Sambilan Ruang melakukan latihan di
bagian depan bengkel.
Dalam kondisi seadanya, adegan yang berulangkali diulang, cuaca
dingin serta aroma karat besi dan tumpahan oli, saya bayangkan malam itu
bagian depan bengkel lokomotif tersebut adalah ruang publik ideal untuk
menghadirkan medan komunikasi terbuka. Ruang publik yang dalam
pandangan Jurgen Habermas dalam Theory of Communicative Actions
sebagai tempat masyarakat dapat berkomunikasi sekaligus memperoleh
informasi, di mana dalam proses tersebut, akan tercipta dengan
sendirinya daya kritis daya kreatif masyarakat.
Ruang publik, salah satu titik tolak yang membuat
kelompok teater Sambilan Ruang untuk kesekian kalinya melakukan proses
latihan rutin, naskah “Matahari di Sebuah Jalan Kecil”, karya Arifin C.
Noer di tempat tersebut. Naskah yang dalam beberapa hari ke depan akan
dipentaskan di tempat yang sama.
Memperhatikan kondisi latihan teater Sambilan Ruang itu
membuat saya mengingat jauh ke belakang, tentang beberapa tulisan
mengenai ‘ruang’ pertunjukan. Di mana, agar ruang, panggung, pementasan
teater, dan penonton dapat menjadi intim. Tulisan-tulisan yang bagi
saya, dari hari ke hari menemukan jawabannya.
Semisal Rendra, menulis tentang Gedung Teater Untuk Kebutuhan Sandiwara Dewasa Ini di
Minggu Indonesia Raya, 3 Agustus 1969, tentang takaran auditorium
teater untuk membuat penonton menikmati suasana intimitas fisik
pertunjukan teater dengan aliran relisme. Takaran-takaran auditorium
yang membuat Strindberg pada zamannya mendirkan grub teater dengan
gedung teater kecil lalu menamakannya “Teater Intim”. Lantas di Munich
muncul “Teater Sandiwara kamar”, juga di Moskow muncul “Teater Kecil”.
Atau tentang tulisan Nirwan Dewanto dalam Forum
Indonesia Kecil (Goethe Institute, 1989) dengan judul “Apakah Lahan
Teater Makin Sempit?”, tulisan yang sudah tahunan lau dibuat tapi bisa
digandengan dengan fenomena penghadiran teater-teater di ruang publik.
Atau, bisa jadi fenomena tersebut bukan saja persoalan
ruang, tapi lebih pada mekanisme atau prosedural penghadiran teater yang
tidak lagi menemukan pemaknaan artistik atau malah berusaha menggapai
pemaknaan artistik dalam kebaharuan, dengan mengalih pusat-pusat
pertunjukan teater dari ‘pakem’ yang dipahami masyarakat sejauh ini;
bahwa pertunjukan teater itu di dalam gedung. Pakem yang dalam
pandangan penggiat teater terlepas proses penciptaan karya telah
mengurangi kontak dengan lingkungan sosial-politiknya melalui
tawar-menawar (bargaining), kerjasama (cooperation), pertukaran (exchange), serta pertentangan (conflict). Untuk itukah ruang-ruang publik menjadi solusi pengimbang bagi teater yang biasa dihadirkan dalam gedung-gedung?
Atau jangan-jangan, dalam pandangan saya, ruang publik
menjadi paradigma utama (meski tidak baru) dalam proses pencapaian
pola-pola baru. Ruang publik yang hadir dalam berbagai bingkai
persoalan, bukan saja ruang yang populer dan digandrungi, tapi yang
terlupakan dan dianggap tidak penting lagi. Dalam pandangan Donald Horne
dalam The Public Culture: The Triumph of Industrial, bahwa
secara bersama di dalam ruang publik akan memungkinkan terbentuk di
dalamnya berbagai prinsip, bentuk, nilai, atau makna yang dimiliki
bersama (common culture) oleh berbagai kelompok berkepentingan
dengan suatu ruang publik. Persoalan inikah yang membuat
kelompok-kelompok teater menghadirkan bermacam garapan yang bisa jadi
disesuaikan dengan posisi ruang publik yang akan menjadi panggung
pertunjukan mereka?
Persoalan ruang publik, yang tidak hanya menggugah penghadiran teater, dianggap sebagai ruang kontradiktif oleh Yasraf Amir Piliang dalam Transpolitika: Dinamika Pilitik di Dalam Era Virtualitas.
Ruang kontradiktif yang dimaksud, yang di dalamnya, di satu pihak,
berbagai kelompok budaya saling bersaing dan berkonflik satu sama
lainnya untuk medapatkan ruang bagi eksistensi dan pengakuan dirinya
atau mengkomunikasikan kepentingan dan aspirasi mereka; akan tetaapi, di
pihak lain, di dalam ruang yang sama dapat terbentuk budaya bersama
dari kelompok-kelompok yang berbeda tersebut.
Boleh jadi, suatu kali ruang publik bisa dimonopoli
oleh satu kelompok yang berkepentingan dan berpotensi berlangsungnya
kekerasan simbol istilah Pierre Bourdieu. Kekerasan yang bisa jadi halus
dan tak tampak dan di baliknya ada pemaksaan dominasi kepentingan,
termasuk dominasi bahasa, tanda, dan pemaknaan.
Ruang publik juga bisa dinilai dalam kapasitas dan
kualitasnya dalam menampung kepentingan kelompok, memberi tempat,
semacam derajat kepublikan. Jika diukur secara kuantitatif, dalam
pandangan Yasraf, dapat dikatakan bahwa pada suatu ekstrem dari spektrum
kepublikan itu, ada semacam ruang publik yang minimalis, yaitu ruang publik yang minimal tingkat kepublikannya—the minimalist public sphere. Pada ekstrim yang lain, ada ruang publik yang maksimalis, yang ruang publiknya tinggi kualitas kepublikannya the maximalist public spere.
Minimal atau maksimalnya kualitas kepublikan ini, akan ditentukan
relasi kekuasaan di dalamnya. Hal ini memungkinkan untuk teater melalui
struktur treatrikal, dramaturgi, atau mise en scene-nya
(landasan pemikiran) menjadi ‘penyaring’ alternatif bagi masyarakat di
ruang publik yang kelompok-kelompok berkepentingan telah memanfaatkan
ruang tersebut dalam pembentukan opini publik.
Dan bisa saja, selain ‘penyaring’ opini penguasa,
pertunjukan teater di ruang publik akan memungkinkan sebagai serangan
balik kritis terkini terhadap budaya populer istilah McGugan. Di mana
melalui media massa yang dibaca atau ditonton setiap harinya oleh
masyarakat, secara tidak langsung telah membuat masyarakat menjadi
makhluk konsumerisme tingkat tinggi. Masyarakat yang secara tak sadar
sebagai orang awam telah diciptakan sebagai manusia penikmat tak
terkira.
Ruang-ruang publik bisa jadi sebagai pabrik ekspoitasi
tanpa di sadari, ruang yang mungkin pupuler dan marjinal, semisal: mall,
cafe, halte, jalan raya, trotoar, pabrik, sekolah, dsb.
Menjamu Penonton di Ruang Publik
Di luar pembacaan terhadap persoalan teater dan ruang
publik; persoalan apakah ruang publik menjadi alternatif sebagai
penganti pakem ruang pementasan semacam gedung; atau teater di ruang
publik sebagai ‘penyaring’ opini penguasa dan eksploitasi praktik
ekonomi; latihan grub teater Sambilan Ruang di bengkel lokomotif Padang
Panjang adalah satu hal lain.
Di beberapa ruang publik kota Padang Panjang sendiri
akan diadakan “Panggung Publik Sumatera” (PPS) dalam rangka
memperingati Hari Teater Sedunia (2012), Senin sampai Selasa depan
(26-27 Maret), dengan tema kegiatan “Menjamu teater di Ruang Publik”.
Panitia PPS sendiri di Sekretariat Teater Sakata, sekaligus tuan rumah
agenda tersebut, menganggap bahwa agenda tersebut merupakan salah satu
kegiatan agar masyarakat ‘akrab’ dengan kelompok-kelompok teater di
Padang Panjang yang sejauh ini telah ikut mengharumkan nama perteateran
nasional.
Ruang-ruang publik yang akan menjadi pentas “perjamuan’
bagi masyarakat Padang Panjang adalah tambang kapur Bukik Tui
(Bancalaweh), Stasiun Kereta Api (Silaiang), dan Pasar Padang Panjang
dengan pertunjukan teater modern, teater tradisi, teater kontemporer,
monolog, mime.
Beberapa kelompok teater dalam kegiatan tersebut adalah Teater Sakata dengan pertunjukan Dongeng Mande dari Bukit Tui, karya-sutradara Tya Setiawati; Komunitas Seni Hitam-Putih dengan pertunjukan Orang-orang Bawah Tanah, karya Wisran Hadi, sutradara Yusril; Komunitas Sambilan Ruang dengan pertunjukan Matahari di Sebuah Jalan Kecil, karya Arifin C Noer, sutradara Fitri Noveri;
Komunitas Batahi Mime Theatre dengan pertunjukan Batu, karya-sutradara Muhammad Hibban Mauludi Hasibuan. Selain itu, monolog dan teater tutur menghadirkan judul Ceramah Ilmiah, karya Wisran Hadi, sutradara Deri Sukaik, aktor rakena Anjani; Koruptor Budiman, karya NN, aktor Andi Jagger; Complicated, karya Yusril, Sutradara Kurniasih Zaitun, aktor Edi satria; teater tutur dengan judul Tupai Janjang, aktor Fuji El Ikhsan; teater tutur dengan judul Malin Kundang,
aktor Lee production. Dalam agenda tersebut juga akan diadakan
sarasehan teater, mengundang Halim HD, pengamat teater nasional dari
Solo, serta Yusrizal KW yang merupakan sastrawan dan kritikus teater
dari Sumbar.
PPS di Padang Panjang, salah satu kegiatan teater di
Sumbar, dari beberapa kegiatan yang sebelumnya juga sudah diadakan di
Padang. Pastinya, PPS bisa jadi usaha untuk menghadirkan langsung
panggung ke ruang keseharian masyarakat. Jika sebelumnya pertunjukan
teater di gedung-gedung tak tersentuh publik kebanyakan, dengan PPS,
bisa jadi mereka ikut mengkritisi teater.ESHA TEGAR PUTR(Penyair, Penikmat Teater) Sumber : http://www.harianhaluan.com/