Pendidikan
merupakan salah satu faktor vital dalam kehidupan manusia. Pola pikir
manusia dapat terbentuk dari sejauh mana mereka mendalami dan memahami
arti pendidikan. Sebagai suatu realitas dalam upaya mengembangkan sumber
daya manusia, peningkatan kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan
sebagai suatu konsep pendidikan di yakini sebagai faktor penting bagi
manusia dalam mengembangkan potensinya. Pada hakikatnya, yang dimaksud
dengan pendidikan ialah pengaruh, bimbingan, arahan atau binaan dari
orang dewasa kepada anak yang belum dewasa dalam lingkup pergaulan
paedagogis, dimana orang dewasa berpengaruh pada kedewasaan anak; agar
kelak dapat dan sanggup memenuhi tugas kehidupannya atas tanggung jawab
sendiri dan dapat menjadi seorang yang berkepribadian yang baik.
Kepribadian yang dimaksud adalah semua aspek yang meliputi cipta, rasa
dan karsa.
Dalam
pelaksanaannya, proses paedagogis membutuhkan sarana, orang dewasa
(pendidik) dan anak didik. Sarana pendidikan dapat berupa peralatan dan
perlengkapan yang secara langsung maupun tidak langsung dipergunakan
untuk menunjang proses belajar-mengajar; dapat berupa pelengkapan
sekolah, seperti gedung, ruang kelas, meja, kursi, serta alat-alat dan
media pembelajaran.
Sekolah
sebagai suatu lembaga pendidikan sangat berpengaruh dalam perkembangan
pola pikir anak. Di sekolah anak di didik, di bimbing, dan di latih
untuk mendapatkan sejumlah kemampuan-kemampuan tertentu, maka dari itu
sudah tentu seyogyanyalah suatu sekolah perlu pula didukung oleh
tenaga pendidik yang profesional, media pembelajaran yang terkini,
kurikulum yang “up-to date” dan lain sebagainya. Di samping itu,
sekolah juga dituntut memiliki sarana penampung dan penyalur
kreativitas, bakat dan minat anak dalam rangka mengembangkan berbagai
keunggulan kompetitif dan komperatif yang dimilikinya.
Dalam
proses pendidikan, seorang pendidik harus dapat berinteraksi dengan
baik kepada anak didiknya, bukan hanya sekedar penyampaian materi
pembelajaran, melainkan juga pada pengembangan potensi yang dimiliki
anak didiknya.
Bila
dicermati secara seksama, bahwa selama ini yang justeru terjadi adalah
pola hubungan antara pendidik dan anak didik hanya bersifat sekedar pola
bercerita (narrative) semata. Artinya, seorang subjek yang
bercerita (pendidik) dan objek yang patuh dan mendengarkan (anak didik).
Pendidikan bercerita ini cendrung membatasi ruang gerak dan daya cipta
anak dalam memahami arti pendidikan. Tidak jarang, seorang pendidik
dalam menyampaikan meteri pembelajaran bergaya layaknya “pegawai bank” dimana dalam system pembelajaran ini bersifat menabung. Maksudnya, konsep pendidikan bergaya bank ini terindiksikan dari gaya
seorang pendidik yang bercerita tanpa mengetahui tingkat tanggap anak
dalam menerima pelajaran. Dr. Ali Shariati seorang ahli pendidikan dari Iran menanggapi konsep ini dengan mengatakan: “Janganlah anda menuangkan air dari suatu cawan yang tiada berair”.
Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah seorang pendidik khususnya guru
haruslah mempunyai kemampuan lebih baik, pandai memanfaatkan media
ataupun keahlian yang efektif dan efesien dalam penyampaian meteri
pembelajaran, disamping tentu seorang pendidik harus pula mengetahui
kemampuan dan potensi yang di miliki anak didiknya. Entah karena sistem
ataupun ketidakmampuan guru, saat sekarang ini, tidak sedikit
sekolah-sekolah yang menganut sistem pembelajaran bergaya bank ini; anak hanya “berjudi” dalam menyelesaikan soal-soal; jika beruntung bisa menjawab “selamat” namun jika tak bisa tentulah divonis sebagai anak “bodoh”.
Selanjutnya, “pola pengadilan” dimana pola ini juga sering menjadi gaya seorang pendidik dalam menyampaikan materi pembelajaran. Dalam konsep bergaya pengadilan
ini, pendidik mengadili dan mengkategorikan anak didik; artinya,
seorang pendidik hanya sekedar menjatuhkan hukuman bagi anak-anak
didiknya yang bersalah dengan menge-nyampingkan reatitas dan dampak yang
akan diterima anak tersebut, baik mental maupun fisik. Pada konsep
bergaya pengadilan ini anak cendrung menjadi canggung dan enggan untuk
menuangkan kreativitas dan bakat yang ia miliki karena takut akan
diadili oleh pendidiknya. Selain itu pada konsep ini juga menekankan
agar anak didik mematuhi atau mentaati semua ucapan dan kehendak
pendidiknya, terlepas suka atau tidak suka.
Pola sekolah selanjutnya adalah “pola penjara” yang
menekankan pada pembatasan kebebasan, daya cipta dan kreativitas anak
didiknya. Konsep ini juga bila dicermati secara seksama banyak
diterapkan pada sekolah-sekolah yang ada. Pendidikan “berpola penjara” ini secara langsung maupun tidak langsung menekan kebebasan anak dalam menyalurkan bakat, kreatifitas dan minatnya. Konsep
ini tidak jauh berbeda dengan konsep pembelajaran bergaya pengadilan.
Hanya saja, pada konsep ini sekolahlah menjadi sarana yang mengekang
kebebasan anak didik. Maksudnya, anak didik pada konsep ini dijadikan tahanan
yang ditahan di sebuah penjara yakni sekolah, sebagai sebuah sarana
yang menekan aspirasi dan kreatifitas anak dalam mengembangkan
potensinya. Anak dilarang untuk menuangkan segala bakat, minat dan
kreativitas yang di milikinya. Tidak jarang pula, pada sekolah yang
menggunakan pola ini banyak dijumpai pendidik yang bergaya layaknya “polisi”
yang menindas anak didiknya yang bersalah dan dengan sewenangnya
menjatuhkan hukuman bagi anak didiknya yang bersalah yang kemudian
berdampak pada kerusakan mental anak tersebut. Tidak itu saja, konsep
sekolah bergaya penjara ini juga melahirkan system otoriter yang
menimbulkan rasa tertekan pada anak. Lebih tragis lagi, sudah bukan
rahasia bahwa justeru sekolah tertentu yang bertujuan untuk
mempersiapkan pemimpin bangsa ini menjadi ajang “pembantaian” anak didiknya.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pola-pola yang terdapat di
sebagaian sekolah ini sangat berpengaruh buruk bagi tumbuh kembang anak.
Meskipun dapat dikatakan tentu tidak semua sekolah menganut murni satu
pola saja, tetapi bervariasi dan fluktuatif. Sekolah yang baik, bukan
hanya sekedar pada kelengkapan fasilitasnya saja, melainkan system
belajar-mengajar, kurikulum dan semua “stake holder” yang secara
langsung maupun tidak langsung terlibat dalam proses belajar-mengajar
atau interaksi sosial kepada anak. Sekolah seharusnya mengadopsi
pola-pola pendidikan yang baik seperti diantaranya menganut pola; “pola hadap - masalah”
yaitu suatu bentuk pola yang menyatakan bahwa anak didiklah yang akan
berpikir kritis tentang bakat, minat dan kreatifitas yang dimilikinya ke
depan; bagaimana cara dan apa yang akan ia lakukan dalam pengembangan
potensi yang ia miliki. Konsep ini menekankan anak untuk berfikir kritis
tentang realitas dan makna pendidikan. Pada konsep ini juga anak di
didik untuk dapat memecahkan dan menyelesaikan sendiri masalah-masalah
yang ia hadapi; dengan kata lain anak di didik untuk belajar mandiri.
Bila pada system pendidikan bergaya bank anak di tuntut untuk menghapal
segala sesuatu yang diterangkan oleh pendidik, namun pada konsep ini
lebih mengutamakan pemahaman dan tinggkat tanggap anak dalam menerima
pelajaran, bukan hanya sekedar menerangkan pembelajaran.
Selanjutnya, “ pola pembelajaran unggul” yakni
suatu system pembelajaran yang mengutamakan keseimbangan kecerdasan
intelaktual (IQ) dan emosional (EQ). Maksudnya, konsep pembelajaran ini
anak dilatih untuk dapat menggunakan kedua system otak dengan baik
seperti otak kiri yang berfungsi sebagai kecerdasan intelaktual bersifat
linier, logis, konvergen, dan teratur; (kemampuan eksakta) dan otak kanan yang berfungsi sebagai kecerdasan emosional; imaginatif, devergen, dan kreatif (kemampuan artistic).
Pada
konsep pembelajaran unggul ini, pendidik juga harus mengarahkan peserta
didik untuk dapat memgembangkan semua aspek kognitif, afektif, dan
psikomotor.
Pola berikutnya adalah, “pola dialogika” yakni
suatu pola dimana anak didik di tuntut untuk berinteraksi mengenai
realitas baik kepada pendidik maupun orang-orang yang lebih mengetahui.
Pola dialogika adalah suatu perjumpaan antara anak didik dan pendidik
membahas mengenai pembelajaran tentang bagaimana dunia nyata; bagaimana
mereka mengambil suatu komitmen tentang apa yang disebut dengan “praksis”
yaitu adanya suatu kesesuaian antara apa yang diucapkan dengan apa yang
seharusnya dilakukan. Praksis juga bermakna kebenaran; bukan
kemunafikan atau hypocrite. Pendidikan seharusnya mengarahkan anak didik
untuk berkata dan berbuat secara benar; jauh dari verbalisme, dan
dogmatis. Sosok guru dan murid adalah kesejajaran, guru bukanlah sumber
kebenaran, ataupun nabi yang semua ucapan dan perkataannya harus
dituruti dan diamalkan. Pola dialogika ini bukanlah sebagai alat untuk
mendominasi seseorang terhadap orang lain, namun dialogika harus di
dasari adanya rasa cinta yang mendalam terhadap sesama manusia dan
menuntut pembelajaran dilaksanakan secara jujur dan bertanggung jawab.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa sekolah yang baik tidak
hanya adanya sarana gedung yang mewah, cukupnya pendidik, media, dan
kelengkapan fasilitasnya lainnya saja, tetapi lebih dari itu, sekolah
yang baik adalah sekolah yang mampu mengembangkan potensi dan
kepribadian anak didiknya, dan sebagai sarana yang membangun kreativitas
dan budi pekerti anak didiknya. Pada kesempatan ini penulis menyarankan
bahwa sebuah sekolah jangan menjadikan anak didik layaknya seperti “burung dalam sengkar emas”
terpenjara; meskipun kebutuhannya seluruhnya terpenuhi. Anak didik
bukanlah manusia dewasa yang berukuran kecil, dimana guru mencoba
memproyeksikan dirinya ke dalam kehidupan anak. Sungguh tepat apa yang
dinyatakan Kahlil Gibran bahwa : “…anakmu itu bukanlah anakmu, tapi ia adalah anak untuk masa depan”, atau seperti yang dinyatakan Driyarkara bahwa seharusnya pendidikan itu;“memanusiakan manusia”. Karya By : Hylda Khairah Putri ... (hkp)