SEKOLAHKU, ISTANAKU Oleh Hylda Khairah Putri

Edu Indonesia
0

Pendidikan merupakan salah satu faktor vital dalam kehidupan manusia. Pola pikir manusia dapat terbentuk dari sejauh mana mereka mendalami dan memahami arti pendidikan. Sebagai suatu realitas dalam upaya mengembangkan sumber daya manusia, peningkatan kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan sebagai suatu konsep pendidikan  di yakini sebagai faktor penting bagi manusia dalam mengembangkan potensinya. Pada hakikatnya, yang dimaksud dengan pendidikan ialah pengaruh, bimbingan, arahan atau binaan dari orang dewasa kepada anak yang belum dewasa dalam lingkup pergaulan paedagogis, dimana orang dewasa berpengaruh pada kedewasaan anak; agar kelak dapat dan sanggup memenuhi tugas kehidupannya atas tanggung jawab sendiri dan dapat menjadi seorang yang berkepribadian yang baik. Kepribadian yang dimaksud adalah semua aspek yang meliputi cipta, rasa dan karsa.
Dalam pelaksanaannya, proses paedagogis membutuhkan sarana, orang dewasa (pendidik) dan anak didik. Sarana pendidikan dapat berupa peralatan dan perlengkapan yang secara langsung maupun tidak langsung dipergunakan untuk menunjang proses belajar-mengajar; dapat berupa pelengkapan sekolah, seperti gedung, ruang kelas, meja, kursi, serta alat-alat dan media pembelajaran.
Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan sangat berpengaruh dalam perkembangan pola pikir anak. Di sekolah anak di didik, di bimbing, dan di latih untuk mendapatkan sejumlah kemampuan-kemampuan tertentu, maka dari itu sudah tentu seyogyanyalah suatu  sekolah  perlu pula didukung oleh tenaga pendidik yang profesional, media pembelajaran yang terkini, kurikulum yang “up-to date” dan lain sebagainya. Di samping itu, sekolah juga dituntut memiliki sarana penampung dan penyalur kreativitas, bakat dan minat anak dalam rangka mengembangkan berbagai keunggulan kompetitif dan komperatif yang dimilikinya.
Dalam proses pendidikan, seorang pendidik harus dapat berinteraksi dengan baik kepada anak didiknya, bukan hanya sekedar penyampaian materi pembelajaran, melainkan juga pada pengembangan potensi yang dimiliki anak didiknya.
Bila dicermati secara seksama, bahwa selama ini yang justeru terjadi adalah pola hubungan antara pendidik dan anak didik hanya bersifat sekedar pola bercerita (narrative) semata. Artinya, seorang subjek yang bercerita (pendidik) dan objek yang patuh dan mendengarkan (anak didik). Pendidikan bercerita ini cendrung membatasi ruang gerak dan daya cipta anak dalam memahami arti pendidikan. Tidak jarang, seorang pendidik dalam menyampaikan meteri pembelajaran bergaya layaknya “pegawai bank” dimana dalam system pembelajaran ini bersifat menabung. Maksudnya, konsep pendidikan bergaya bank ini terindiksikan dari gaya seorang pendidik yang bercerita tanpa mengetahui tingkat tanggap anak dalam menerima pelajaran. Dr. Ali Shariati seorang ahli pendidikan dari Iran menanggapi konsep ini dengan mengatakan: “Janganlah anda menuangkan air dari suatu cawan yang tiada berair”. Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah seorang pendidik khususnya guru haruslah mempunyai kemampuan lebih baik, pandai memanfaatkan media ataupun keahlian yang efektif dan efesien dalam penyampaian meteri pembelajaran, disamping tentu seorang pendidik harus pula mengetahui kemampuan dan potensi yang di miliki anak didiknya. Entah karena sistem ataupun ketidakmampuan guru, saat sekarang ini, tidak sedikit sekolah-sekolah yang menganut sistem pembelajaran bergaya bank  ini; anak hanya “berjudi” dalam menyelesaikan soal-soal; jika beruntung bisa menjawab “selamat” namun jika tak bisa tentulah divonis sebagai anak “bodoh”.
Selanjutnya,pola pengadilan” dimana pola ini juga sering menjadi gaya seorang pendidik dalam menyampaikan materi pembelajaran. Dalam konsep bergaya pengadilan ini, pendidik mengadili dan mengkategorikan anak didik; artinya, seorang pendidik hanya sekedar menjatuhkan hukuman bagi anak-anak didiknya yang bersalah dengan menge-nyampingkan reatitas dan dampak yang akan diterima anak tersebut, baik mental maupun fisik. Pada konsep bergaya pengadilan ini anak cendrung menjadi canggung dan enggan untuk menuangkan kreativitas dan bakat yang ia miliki karena takut akan diadili oleh pendidiknya. Selain itu pada konsep ini juga menekankan agar anak didik mematuhi atau mentaati semua ucapan dan kehendak pendidiknya, terlepas suka atau tidak suka.
Pola sekolah selanjutnya adalah “pola penjara” yang menekankan pada pembatasan kebebasan, daya cipta dan kreativitas anak didiknya. Konsep ini juga bila dicermati secara seksama banyak diterapkan pada sekolah-sekolah yang ada. Pendidikan “berpola penjara”  ini secara langsung maupun tidak langsung menekan kebebasan anak dalam menyalurkan bakat, kreatifitas dan minatnya. Konsep ini tidak jauh berbeda dengan konsep pembelajaran bergaya pengadilan. Hanya saja, pada konsep ini sekolahlah menjadi sarana yang mengekang kebebasan anak didik. Maksudnya, anak didik pada konsep ini dijadikan tahanan yang ditahan di sebuah penjara yakni sekolah, sebagai sebuah sarana yang menekan aspirasi dan kreatifitas anak dalam mengembangkan potensinya. Anak dilarang  untuk menuangkan segala bakat, minat dan kreativitas yang di milikinya. Tidak jarang pula, pada sekolah yang menggunakan pola ini banyak dijumpai pendidik yang bergaya layaknya “polisi” yang menindas anak didiknya yang bersalah dan dengan sewenangnya menjatuhkan hukuman bagi anak didiknya yang bersalah yang kemudian berdampak pada kerusakan mental anak tersebut. Tidak itu saja, konsep sekolah bergaya penjara ini juga melahirkan system otoriter yang menimbulkan rasa tertekan pada anak. Lebih tragis lagi, sudah bukan rahasia bahwa justeru sekolah tertentu yang bertujuan untuk mempersiapkan pemimpin bangsa ini menjadi ajang “pembantaian” anak didiknya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pola-pola yang terdapat di sebagaian sekolah ini sangat berpengaruh buruk bagi tumbuh kembang anak. Meskipun dapat dikatakan tentu tidak semua sekolah menganut murni satu pola saja, tetapi bervariasi dan fluktuatif. Sekolah yang baik, bukan hanya sekedar pada kelengkapan fasilitasnya saja, melainkan system belajar-mengajar, kurikulum dan semua “stake holder” yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam proses belajar-mengajar atau interaksi sosial kepada anak. Sekolah seharusnya mengadopsi pola-pola pendidikan yang baik seperti diantaranya menganut pola; “pola hadap - masalah” yaitu suatu bentuk pola yang menyatakan bahwa anak didiklah yang akan berpikir kritis tentang bakat, minat dan kreatifitas yang dimilikinya ke depan; bagaimana cara dan apa yang akan ia lakukan dalam pengembangan potensi yang ia miliki. Konsep ini menekankan anak untuk berfikir kritis tentang realitas dan makna pendidikan. Pada konsep ini juga anak di didik untuk dapat memecahkan dan menyelesaikan sendiri masalah-masalah yang ia hadapi; dengan kata lain anak di didik untuk belajar mandiri. Bila pada system pendidikan bergaya bank anak di tuntut untuk menghapal segala sesuatu yang diterangkan oleh pendidik, namun pada konsep ini lebih mengutamakan pemahaman dan tinggkat tanggap anak dalam menerima pelajaran, bukan hanya sekedar menerangkan pembelajaran.
Selanjutnya, “ pola pembelajaran unggul”  yakni suatu system pembelajaran yang mengutamakan keseimbangan kecerdasan intelaktual (IQ) dan emosional (EQ). Maksudnya, konsep pembelajaran ini anak dilatih untuk dapat menggunakan kedua system otak dengan baik seperti otak kiri yang berfungsi sebagai kecerdasan intelaktual bersifat linier, logis, konvergen, dan teratur; (kemampuan eksakta) dan otak kanan yang berfungsi sebagai kecerdasan emosional; imaginatif, devergen, dan kreatif (kemampuan artistic).
Pada konsep pembelajaran unggul ini, pendidik juga harus mengarahkan peserta didik untuk dapat memgembangkan semua aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.              
Pola berikutnya adalah, “pola dialogika”  yakni suatu pola dimana anak didik di tuntut untuk berinteraksi mengenai realitas baik kepada pendidik maupun orang-orang yang lebih mengetahui. Pola dialogika adalah suatu perjumpaan antara anak didik dan pendidik membahas mengenai pembelajaran tentang bagaimana dunia nyata; bagaimana mereka mengambil suatu komitmen tentang apa yang disebut dengan “praksis”  yaitu adanya suatu kesesuaian antara apa yang diucapkan dengan apa yang seharusnya dilakukan. Praksis juga bermakna kebenaran; bukan kemunafikan atau hypocrite. Pendidikan seharusnya mengarahkan anak didik untuk berkata dan berbuat secara benar; jauh dari verbalisme, dan dogmatis. Sosok guru dan murid adalah kesejajaran, guru bukanlah sumber kebenaran, ataupun nabi yang semua ucapan dan perkataannya harus dituruti dan diamalkan. Pola dialogika ini bukanlah sebagai alat untuk mendominasi seseorang terhadap orang lain, namun dialogika harus di dasari adanya rasa cinta yang mendalam terhadap sesama manusia dan menuntut pembelajaran dilaksanakan secara jujur dan bertanggung jawab.
            Akhirnya dapat  disimpulkan bahwa sekolah yang baik tidak hanya adanya sarana gedung yang mewah, cukupnya pendidik, media, dan kelengkapan fasilitasnya lainnya saja, tetapi lebih dari itu, sekolah yang baik adalah sekolah yang mampu mengembangkan potensi dan kepribadian anak didiknya, dan sebagai sarana yang membangun kreativitas dan budi pekerti anak didiknya. Pada kesempatan ini penulis menyarankan bahwa sebuah sekolah jangan menjadikan anak didik layaknya seperti “burung dalam sengkar emas”  terpenjara; meskipun kebutuhannya seluruhnya terpenuhi. Anak didik bukanlah manusia dewasa yang berukuran kecil, dimana guru mencoba memproyeksikan dirinya ke dalam kehidupan anak. Sungguh tepat apa yang dinyatakan Kahlil Gibran bahwa : “…anakmu itu bukanlah anakmu, tapi ia adalah anak untuk masa depan”, atau seperti yang dinyatakan Driyarkara bahwa seharusnya pendidikan itu;“memanusiakan manusia”. Karya By : Hylda Khairah Putri ...  (hkp)

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)